SAAT
WANITA MASUK WILAYAH TANPA BATAS
oleh: Abu Kholid
Terjunnya kaum ibu di kancah bisnis, politik dan di segala bidang
yang selama ini khas menjadi “wilayahnya laki-laki”, mendapatkan pembenaran
dari penyokong paham emansipasi, HAM dan sebagainya. Dalam ranah pemikiran
dunia Islam, kisah Sayyidatina Aisyah Ash-Shiddiqah saat terjun di peperangan
Jamal (36 H/656 M) banyak dijadikan dalil pembenaran oleh sebagian ummat Islam
untuk mendorong kaum wanita masuk “wilayah tanpa batas”.
Padahal penggunaan kisah perang Jamal tersebut sebagai dalil
digalakkannya wanita memasuki “dunia kebebasan” seperti sekarang ini,
sesungguhnya karena kesalahpahaman sebagian ummat terhadap ikut sertanya
Sayyidatina Aisyah dalam peperangan tersebut.
Kisah
yang Tersembunyi
Keluarnya Sayyidatina Aisyah di perang Jamal, sebenarnya karena desakan
yang bertubi-tubi oleh beberapa orang di sekitarnya. Maka ketika akhirnya
beliau terpaksa berangkat, niatnya benar-benar lurus karena ketidaksenangannya
terhadap kedhaliman dan beliau menginginkan agar pembunuh Khalifah Ustmant
dapat ditangkap dan dihukum seadil-adilnya. Wan Muhammad bin Muhammad Ali di
kitab Al Hijab menerangkan, bahwa pada hari saat Sayyidatina Aisyah
meninggalkan kota Mekkah menuju Basrah dengan pasukan yang telah berkumpul
untuk membela kematian Khalifah Ustman, terkenal dengan nama “hari ratap
tangis.” Saat itu Sayyidatina Aisyah menyaksikan sendiri beribu-ribu manusia
meratap dan menangis menyesali keberangkatannya itu. Saat itu Ummu Salamah
telah berkirim surat untuk Sayyidatina Aisyah. Dalam sepucuk surat itu dengan
panjang lebar Ummu Salamah mengingatkan Sayyidatina Aisyah agar tidak
menerjunkan diri ke dalam peperangan, karena itu berarti merobek-robek hijab
yang telah dipancangkan oleh Rasulullah untuk istri-istri beliau. Hatinya
selalu galau di sepanjang perjalanan, bahkan beliau sendiri sebenarnya hendak
berbelok arah menuju ke Madinah.Tetapi pasukan yang menyertainya tetap
mendorongnya untuk menuju ke kota Basrah. Sewaktu di perjalanan tiba-tiba terdengar
gonggongan anjing, maka dalam hati Sayyidatina Aisyah terlintas suatu ingatan.
Bahwa ia pernah duduk bersama istri-istri Nabi, lalu Rasulullah bersabda,
“Barangkali di antara kalian ada yang akan digonggong anjing Haw’ab.” Begitu
teringat akan hal itu, maka Sayyidatina Aisyah bertanya, “Dimanakah kita
sekarang” Seorang pengiringnya menjawab,”Di dekat sumur Haw’ab.” Maka
Sayyidatina Aisyah terkejut dan berkata, “Kalau begitu, saya harus pulang,
karena saya pernah mendengar Rasulullah bersabda kepada istri-istrinya,’Barangkali
di antara kalian ada yang akan diginggong anjing Haw’ab.” Namun orang-orang di
sekitar beliau tetap membujuknya dan mendorongnya untuk tetap meneruskan
perjalanan.
Pada saat itu, Sayyidatina Aisyah keluar dengan tetap memakai pakaian
yang menutup aurat secara sempurna. Dan beliau sendiri selama perjalanannya
selalu berada di dalam sebuah usungan tertutup, yang terhijab dari pandangan
orang banyak, yang diletakkan di atas ontanya. Ketika perang Jamal telah
berakhir, maka beliau segera kembali ke Madinah dengan diantar oleh Muhammad
bin Abu Bakart yang tak lain adiknya sendiri. Keluarnya beliau untuk terjun
dalam peperangan di Basrah itu telah menjadi pengalaman pahit dalam
lembar-lembar ingatannya. Betapa tidak, berangkatnya beliau sebagai figur Ummul
Mukminin ke Basrah akhirnya diikuti sekitar 30.000 pasukan yang mengiringinya.
Kedua belah pihakpun sebenarnya bertemu dengan niat untuk saling ishlah
dan jauh dari maksud saling berperang. Tapi karena hasutan keji Abdullah bin
Saba’ dan 2.000 munafiqin dibelakangnya, perang itu akhirnya terjadi juga. Dan
sejarah mencatat betapa dari kancah perang saudara ini, puluhan ribu jiwa
terkorban hanya dalam sehari saja. Maka bila beliau teringat peristiwa yang
sangat menyedihkan itu, beliau tenggelam dalam kepiluannya sambil berkata,
“Wahai, seandainya aku menjadi sebatang kayu. Wahai, seandainya aku menjadi
batu atau kerikil. Wahai, seandainya aku telah lama mati.” Penyesalan ini
beliau tanggung hingga akhir hidupnya. Sehingga di akhir hayatnya ia berwasiat,
”Jangan kuburkan aku di samping Rasulullah, karena aku telah melakukan
kesalahan setelah beliau meninggal.” Sungguh sangat disayangkan, kisah sejati
penyesalan dan taubatnya Sayyidatina Aisyah ini disembunyikan dan tidak pernah
dibuka sebagai bahan pelajaran. Justru yang selalu dibesar-besarkan dan
ditonjol-tonjolkan adalah bagian kisah keluarnya Sayyidatina Aisyah dalam
peperangan Jamal itu sebagai dalil pembenaran bagi kaum wanita menanggalkan
hukum Hijab, lalu mengambil tertib kehidupan kaum kafir yang lebih mementingkan
nafsu dan syahwat belaka. Sikap demikian ini akan menyebabkan alur berpikir
kita menjadi salah, sekaligus menyebabkan berkurangnya sifat
memuliakannya kita kepada para shahabat. Kisah perang Jamal mestinya justru menjadi
pelajaran bagi kita akan kemuliaan sifat beliau. Walau beliau adalah Ummul
Mukminin, namun beliau tak segan-segan menunjukkan rasa penyesalannya dari
kekhilafan yang telah terjadi. Beliau adalah Sebuah contoh kemuliaan akhlak
dari seorang wanita yang terkenal sebagi “gudangnya ilmu”. Seorang ibu yang
dari padanya telah belajar akan berbagai ilmu agama, para ulama dari kalangan
shahabat dan tabi’in. Seorang wanita mulia yang dari lesannya telah
diriwayatkan lebih dari dua ribu hadist, yang menjadi rujukan beramal ummat di
belakangnya sampai akhir zaman. Bahkan Jibrilpun sering berkirim salam
kepadanya. Beliau pernah diberi kabar oleh Rasululloh bahwa beliau adalah salah
seorang istrinya kelak di syurga. Dan ketika kaum munafiq memfitnahnya, Alloh langsung
mensucikannya dengan menurunkan ayat Al-Quran