Barter Kurikulum Pesantren


Barter Kurikulum Pesantren
Oleh: S. Budi. W

Beberapa kalangan meyakini nasib pondok pesantren di Indonesia dan sejarah pendidikan pesantren bakal memasuki babak baru dan menjadi lebih baik, pasca-terbitnya peraturan pemerintah (PP) nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan. Terlebih lagi sebelumnya telah terbit undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang manghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Dengan berbagai PP dan UU pendidikan diniyahnya dan pesantren telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan.
           Terlepas dari berbagai ‘angin segar’ yang disampaikan pemerintah, banyak kalangan yang berpraduga bahwa peraturan ini menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang. Jika praduga ini benar, wajarkah harga tersebut bila dibandingkan dengan fasilitas yang akan diperoleh pesantren?
 Sertifikasi untuk Kyai
          Angin segar kebijakan politis yang meyentuh lembaga pendidikan agama tertua di tanah air setidaknya kecendrungan birokasi pendidikan yang meminggirkan pesantren dari arus utama kebijakan boleh jadi mulai dapat dilupakan. Dukungan kebijakan dan pendanaan untuk pendidikan diniyah dan pesantrenpun diyakini akan lebih besar daripada sebelumnya.
           Pada saat sama, dengan persyaratan tertentu, alumni pendidikan diniyah dan pesantren akan mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dengan alumni pendidikan umum. Artinya, alumni pesantren tidak akan terhalang hanya karena yang bersangkutan tidak pernah mengenyam pendidikan umum atau memiliki izazah ”pendidikan formal”.
         Konsekuensinya, kedua lembaga pendidikan keagamaan ini kan terikat dengan berbagai peraturan teknis dan ketentuan administratif. Dan inilah harga yang harus dibayar kalangan pesantren untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dan pengakuan tersebut. Kelak pesantren tidak lagi dapat ”berdaulat penuh” menentukan program pembelajaran bagi santrinya.
         Untuk itu, sudah sewajarnya pesantren sejak awal harus mewaspadai kecendrungan adanya program tersebut dibalik ‘rangkulan mesra’ sistem birokrasi ini. Kasus proyek pembiyaan pendidikan dasar yang dikemas dengan istilah “bantuan” dalam bentuk ‘bantuan oprasional sekolah’ (BOS) adalah indikasi nyata kuatnya kecendrungan itu. Contoh aktual adalah implementasi UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang menuai protes dimana-mana belakangan ini. 
         Sekilas, tidak ada sesuatu yang janggal dalam kasus ini. Terapi, jika kita cermati ruang lingkup SNP dalam PP No 19/2005, maka kejanggalan itu akan tampak. Pasalnya, SNP meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiyaan, dan standar penilaian pendidikan. Artinya, untuk implentasi peraturan ini, pemerintah perlu membentuk lembaga sertifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan atau lembaga penjamin mutu. Jika Kementrian Pendidikan Nasional atas nama undang-undang berhak  mengatur lembaga sertifikasi guru, maka jangan kaget, jika Kementrian  Agama juga akan mengatur lembaga sertifikasi untuk ustadz sekaligus Kyai (pimpinan pesantren). Karena hanya setelah dinyatakan lulus proses sertifikasi, semua elemen dalam sistem pendidikan nasional (yang didalamnya terdapat pesantren) dinyatakan berhak atas bagian dari alokasi 20 % APBN.
         Setelah itu, kurikulum pendidikan diniyah (yang selanjutnya digiring menjadi pendidikan Diniyah formal) wajib memasukkan muatan pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam untuk diniyah dasar serta ditambah Pendidikan Seni dan Budaya untuk diniyah menegah. Jika dimikian halnya, nasib diniyah hampir dapat dipastikan akan segera menyusul nasib madrasah (MI, MTS, MA) yang awalnya hanya hanya diwajibkan memiliki muatan pendidikan umum sekitar 30 persen, tapi lama-kelamaan terbalik total, kini jatah alokasi jam pelajaran untuk mata pelajaran keagamaan hanya tinggal 2-4 jam per minggu. Dalam kondisi demikian, peran pesantren akan terseret hanya sebagai lembaga pendidikan semata. Perannya sebagai benteng untuk menjaga akidah dan akhlak generasi Islam, mungkin tidak dapat digarapkan lagi.

Barter Kurikulum
Seperti diketahui, sejumlah negara seperti Australia, AS dan Inggris kini tengah mengucurkan ratusan juta dolar ke beberapa lembaga pesantren guna mengekang pengaruh apa yang sebut AS sebagai ‘muslim garis keras’ dalam sistem pendidikan di Indonesia. Saat ini lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah di Indonesia ada sekitar 76 ribu, 13 ribu diantaranya pondok pesantren
Pemerintah Australia dan Indonesia membentuk sebuah lembaga koordinasi bernama AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Program). AIBEP merupakan sebuah program yang dirancang untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengembangkan kebijakan pendidikan nasional dengan meningkatkan akses, kualitas serta tata kelola pendidikan dasar di Indonesia.
Beberapa program yang dirancang, bertujuan untuk menuntaskan Program Nasional Wajib Belajar Sembilan Tahun. Dalam rangka itulah, pemerintah Indonesia dan Australia sepakat menjalin kerja sama pembangunan 500 madrasah Tsanawiyah (MTs) yang tersebar di berbagai lokasi di tanah air. Untuk mendukung program ini, Pemerintah Australia menyediakan Estimasi Dana (AUD) A$ 355 juta  bagi Program Pendidikan Dasar atau Basic Education Program (BEP).
Penjinakan lembaga pendidikan Islam bukanlah yang pertama. Selain melalui pesantren, negara asing juga melibatkan dan mendanai kelompok-kelompok Islam yang selama ini berkedok 'Islam moderat', seperti kelompok JIL dengan berbagai institusinya. Masih segar dalam ingatan, ketika pemerintah Indonesia –tatkala Menteri Agama dijabat Munawir Sjadzali– bersama Pemerintah Kanada (diwakili Duta Besar Kanada untuk Indonesia) pernah menandatangani naskah perjanjian kerjasama budaya di bidang Kajian Islam. Di pihak Kanada, yang melaksanakan perjanjian kerja sama tersebut adalah The Institute of Islamic Study, McGill University, Montreal, Kanada. Program studi yang ditawarkan pihak Kanada adalah mengirimkan 75 orang Indonesia yang terdiri dari dosen dan alumni IAIN untuk menyelesaikan program pasca sarjana di Universitas McGill, Kanada, lima orang diantaranya mengikuti program doktor, sedang 20 orang lainnya mengikuti program master.
Dalam rangka akselerasi, Pemerintah Indonesia, melalui Depag juga bekerja sama dengan Universitas Negeri Leiden, Belanda melalui sebuah lembaga NGO Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS). Di universitas ini telah lama diadakan studi Islam, termasuk bidang sejarah dan kebudayaan Islam. Kerja sama itu berlangsung dari 1989-1994. Tujuan INIS adalah pengembangan penataran tenaga ahli Depag dan Univesitas Islam Negeri.
Sejumlah tokoh Islam meminta masyakarat mewaspadai bantuan dari sejumlah negara asing ke beberapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan alasan untuk meredam radikalisme. Ketua BKSPI KH. Kholil Ridwan menengarai, bantuan asing kepada dunia pesantren tidak boleh mengikat, apalagi merubah kurikulum. Sebab, pesantren adalah lembaga pendidikan independen yang punya kewenangan dan kemandirian sendiri dalam pengelolaannya. ”Paket bantuan dan kerjasama itu menjadi pintu masuk bagi pihak asing untuk mengawasi pesantren. Untuk meningkatkan lembaga pendidikan ini jangan sampai digunakan untuk mencurigai pesantren. Karena pesantren itu lembaga yang mengajarkan moralitas, bukan kekerasan atau terorisme seperti yang selama ini dituduhkan mereka,” tegasnya.
Tentu semua pihak sepakat, upaya untuk memajukan dunia pesantren adalah hal yang positif dan perlu didukung, apakah itu dalam bentuk dana, sarana fisik atau kerjasama. Tapi, pesantren itu punya otoritas dan kewenangan sendiri. Kita ingin kerjasama itu tanpa syarat. Jika ada penekanan kepada pesantren, maka harus di tolak. Tegasnya, pola kerjasama tersebut tidak boleh ada barter kurikulum.