Madzhab Salaf...?


Madzhab Salaf?

Madzhab Salaf secara harfiyah berarti  pendapat atau fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh orang-orang salaf (orang-orang yang terdahulu). Atau dapat juga diartikan, suatu golongan atau kelompok yang menjadikan pendapat dan fatwa orang-orang salaf sebagai pijakan dalam beramal.
Siapakah orang-orang salaf itu? Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Namun secara umum, generasi salaf dinisbatkan kepada para shahabat, tabi’in dan tabi’u tabi’in. Ada juga yang mengatakan generasi salaf adalah orang yang hidup dari mulai kalangan shahabat sampai tahun 300 H. Generasi setelah tahun 300 H disebut orang-orang khalaf.




Pendapat Orang-Orang Salaf
Dalam sejarah perkembangan Islam, setidak-tidaknya sampai zaman tabi’ut tabi’in, tidak dijumpai suatu mazhab yang secara jelas menyebut dirinya madzhab salaf. Para ulama berpendapat, istilah salaf mulai muncul pada masa-masa abad IV H. Pada masa ini istilah salaf dan khalaf telah banyak digunakan  dalam kitab-kitab yang membahas ushuluddin dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, di antaranya dalam kitab-kitab karya Imam Ghazali seperti Iljamul Awam fi Ilmi Kalam.
Sampai pada masa itu, pengelompokkan orang-orang salaf atau orang-orang khalaf mengacu kepada pandangan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an dan Hadits yang mutasyabbihaat. Imam Badaruddin Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhan fi ‘Ulumil Qur’an mengatakan bahwa dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabbihat telah terjadi tiga perbedaan pendapat sebagai berikut;
1.      Orang-orang yang mengartikan ayat-ayat ini menurut  lafadznya saja. Tidak boleh sama sekali dita’wilkan. Cara seperti ini dianut oleh golongan Musyabbihaah yaitu golongan yang berpendapat bahwa Tuhan itu dapat serupa dengan makhluk. Mereka mengartikan ayat-ayat mutasyabbihaat yang bertalian dengan sifat-sifat Alloh SWT secara harfiyah berdasarkan lafadz yang tersurat saja.
2.      Orang-orang yang mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihaat, tetapi arti dan makna ayat yang sebenarnya diserahkan kepada Alloh SWT. Mereka berpendapat bahwa Tuhan itu Maha Suci dari sifat yang menyerupai makhluk. Pendapat ini dikenal sebagai pendapatnya (mayoritas) orang-orang salaf.
3.      Orang yang mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihaat dengan jalan  mengalihkan artinya ke arti lain yang layak bagi Alloh SWT. Pendapat ini dikenal sebagai pendapatnya (mayoritas) orang-orang khalaf.
Imam Badaruddin Zakarsyid mengatakan bahwa pendapat golongan Musyabbihah adalah pendapat yang bathil. Karena golongan yang juga sering disebut golongan Mujassimah ini, berpendapat bahwa Alloh SWT itu mempunyai tangan, muka, kaki, dan berperilaku seperti manusia.
Sedangkan pendapat baik dari orang-orang salaf maupun khalaf adalah haq dan benar, karena diambil dari pendapat para sahabat Nabir. Pandangan orang salaf di antaranya didasarkan kepada pendapat sahabat Ummu Salamahs yang kemudian diikuti oleh Imam Malikd, Sufyan ats Tsauryd, Al Auza`iyd, serta Ibnu Rahawaihd. Sedangkan pandangan orang khalaf disandarkan pada pendapat Alif, Ibnu Mas’udt, dan Ibnu Abbast. Pendapat dari kelompok salaf dan khalaf inilah yang dipakai oleh madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Madzhab Salaf “Ibnu Taimiyahd”?
Pada abad VII H, di Syria muncul seorang ulama penganut madzhab fiqih Hambali, mengeluarkan fatwa-fatwa dalam bidang ushuluddin maupun syari’at yang fatwa-fatwanya itu beliau namakan sebagai madzhab salaf. Beliau adalah  Ahmad Taqiyuddind, atau lebih dikenal sebagai Ibnu Taimiyahd.
Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyahd dalam bidang ushuluddin mempunyai kemiripan dengan pendapat kaum Mujassimah. Dimana dalam menafsirkan dan memaknai ayat-ayat mutasyabihaat hanya boleh secara harfiyah atau menurut lafadznya saja. Juga pendapat yang meyakini bahwa Tuhan itu memiliki muka, tangan, kaki dan sifat-sifat lain yang ada pada makhluk. Hanya saja beliau mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan yang serupa itu tidak benar-benar serupa dengan yang ada pada makhluk.
Sebagaimana yang beliau terangkan dalam kitabnya Munazharah fil “Aqidah al Wasithiyah bahwa dasar pemikiran terhadap ayat mutasyabihaat adalah “memperlakukan atau mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertalian dengan sifat Tuhan menurut lahirnya, dengan meniadakan bentuk dan keserupaan Tuhan dengan makhluk.” Sebagai contoh perbandingan, di dalam mengartikan dan menafsirkan ayat:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى {5}
Artinya: ”Tuhan yang Rahman “istiwa” di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha, 5)
Orang-orang Mujassimah: Tuhan duduk bersila dengan mantap serupa duduknya manusia di atas untanya.
Orang-orang Salaf: Kita tidak tahu arti sebenarnya ayat ini, maka serahkan kepada Alloh SWT apa arti sebenarnya.
Orang-orang Khalaf: Lafadz “istawa” ditakwilkan menjadi “istaula” yang artinya menguasai.
Salaf “Ibnu Taimiyahd": Tidak boleh ditakwilkan, Tuhan Alloh SWT memang duduk bersila di atas ‘Arsy, tetapi duduknya tidak serupa dengan duduknya makhluk.
Tentang pendapatnya ini, Ibnu Batutahd dalam buku Rahlah Ibnu Batutahd menulis bahwa ketika beliau singgah di Syria mendengar Ibnu Taimiyahd berfatwa di mimbar Masjid Bani Umawiyah. Saat itu Ibnu Taimiyahd berkata bahwa Tuhan Alloh SWT itu duduk di atas ‘Arsy dan duduknya itu serupa dengan duduknya Ibnu Taimiyahd di atas mimbar.
Ibnu Taimiyahd juga menegaskan bahwa barangsiapa yang mentakwilkan atau menafsirkan ayat-ayat atau Hadits yang bertalian dengan sifat-sifat Alloh SWT, maka orang itu adalah orang yang tersesat, dikutuk, dan harus ditaubatkan.
Di antara pendapat beliau adalah, tawassul dan istigatsah itu syirik. Qur’an itu baru (hadits) bukan qadim dan nabi-nabi tidak maksum. Beliau juga berpendapat bahwa pergi ziarah ke makam para nabi itu perbuatan maksiat atau mungkar.
Dalam bidang fiqih, Ibnu Taimiyahd sebenarnya mempunyai latar belakang madzhab Hambali. Namun beliau banyak keluar dari azas madzhab ini dalam fatwa-fatwa fiqihnya. Al Hafidz al Muhaddits Syamsuddin ibnu Thalund dalam kitab Dakhairul Qasr banyak menyebutkan pendapat Ibnu Taimiyahd sering bertentangan dengan ijma’ dalam masalah asl dan furu’.
Termasuk yang paling disesalkan dari Ibnu Taimiyahd ialah sikapnya yang seringkali mengeluarkan fatwa (asl maupun furu`) yang bertentangan dengan pendapat jumhur, baik jumhur sahabat, tabi`in maupun tabi`ut tabi`in. Beliau mengklaim fatwanya adalah pendapatnya orang-orang salaf, tetapi setelah diteliti ternyata merupakan pendapat beliau pribadi.
Dalam bidang fiqih, di antara pendapatnya bahwa shalat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha. Orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat dan boleh qashar sembahyang walau dalam perjalanan yang pendek. Sementara dalam bidang tasawuf beliau berfatwa bahwa amal orang tasawuf semisal thariqat harus dibuang jauh-jauh.
Namun dalam kitab Al-Maqalah as-Suniyyah karya Abdullah al Karawi al Habsyd disebutkan bahwa beliau telah bertaubat dari paham-pahamnya semula dan menyatakan kembali mengambil pendapat yang lurus yaitu pendapatnya jumhur ulama yang berpegang kepada generasi shahabat, tabi’in dan tabi’u tabi’in (Ahlus Sunnah wal Jama’ah). (Baca “Taubatnya Ibnu Taimiyahd” dalam rubrik Ibroh, SuaraSantri Al-Madinah edisi 3/Ramadhan 1426 H)
Seperti halnya “kaum Mujassimah” yang muncul abad IV H, madzhab salaf “Ibnu Taimiyahd” ini pun, kala itu hilang dengan sendirinya. Namun 500 tahun kemudian, muncul seorang ulama yang membangun kembali sebuah gerakan pembaharuan yang berpijak kepada fatwa-fatwa Ibnu Taimiyahd. Beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakannya selanjutnya disebut  Wahabi.
Sebenarnya latar belakang keluarga beliau adalah penganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang kuat dan dalam fiqih berpegang kepada madzhab Hambali. Maka, ketika beliau memulai membangun Gerakan Wahabi (yang dalam bidang ushuluddin dan fiqih banyak menyimpang dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah), banyak keluarganya dan para ulama yang menentang. Kakaknya sendiri yang bernama Sulaiman bin Abdul Wahab mengarang buku guna menolak ajarannya. Buku itu diberi judul As Shawa’iqul Muhriqah Firradi alal Wahabiyah (Petir yang Membakar untuk Menolak Paham Wahabi).
Pengaruh gerakan Wahabi pada awalnya ditentang dimana-mana. Baru setelah ada Amir (Gubernur) sebuah negeri bernama Dariyah (sebuah wilayah kecil di dekat Riyadh), dengan amirnya yang bernama Muhammad ibnu Saud yang mendukungnya, gerakan ini mempunyai pelindung. Apalagi setelah Muhammad ibnu Saud dapat merebut Hijaz dari kendali kekhalifahan Turki, lalu menduduki Mekkah dan Madinah pada tahun 1802 M, gerakan ini memulai babak barunya di Jazirah Arab.
Upaya Dinasti Saud untuk melepaskan diri dari pengaruh kekhilafahan Turki pada awalnya menemui kegagalan, karena dia kembali terusir oleh tentara kekhilafahan Turki. Namun salah satu keturunannya yaitu Abdul Aziz bin Abdul Rahman Aali Faishal kembali dapat menyerbu dan menduduki Mekkah dan Madinah pada tahun 1924 M. Kembalinya Dinasti Saud menduduki Mekah dan Madinah ini bersamaan dengan runtuhnya kekhilafahan Turki. Dan semenjak itulah paham Wahabiyah dijadikan paham resmi kerajaan Arab Saudi.
Berbeda dengan pendahulunya (Ibnu Taimiyahd), Muhammad ibnu Abdul Wahab dikenal lebih berani dalam berfatwa. Di antara pendapatnya adalah melarang perayaan Maulid Nabid dan membaca syair-syair pujian kepada Nabid seperti dalam Barzanji dan Burdah. Melarang mempelajari “sifat dua puluh” sebagaimana dalam kitab Kifayatul Awam, Sanusi, Juaharatut Tauhid dan lain-lain. Beliau juga menganjurkan membuang jauh-jauh faham Asy’ariyah, yaitu salah satu faham ushuluddin dalam madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Perkembangan berikutnya, yang sangat disayangkan dari sikap sebagian pengikut Wahabi adalah, mudahnya mereka menuduh bid’ah kepada saudara Muslim lain yang tidak sepaham dengan mereka, baik dalam bidang ushuluddin maupun fiqih. Padahal pendapat pihak lain itu pun, belum tentu keluar dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagai seorang Muslim yang berwawasan luas semestinya kita membangun sikap husnudz dzan (baik sangka), apalagi kepada para ulama yang ahli. Kita hendaknya mempunyai pandangan bahwa amalan-amalan ulama dahulu yang lurus dan ahli dalam bidangnya tentu telah ada istinbathnya dari Kitabullah maupun As Sunnah. Ada di antaranya yang sudah kita pahami, sedangkan sebagian yang lain mungkin kita belum memahaminya.
Sikap mudah menyalahkan saudara Muslim yang lain sangat berbahaya bagi kesatuan ummat, karena hal itu sangat mudah menimbulkan perpecahan. Dan sikap yang demikian ini sangat menguntungkan para musuh Islam.

Ya Alloh, tetapkanlah langkah kaki kami
Dalam jalan yang dilalui para kekasih-Mu.