Guru Efektif : Antara Realitas dan Idealisme
Mendengar kata “guru”, pikiran orang biasanya tertuju pada sosok abdi negara berpakaian formal lengkap dengan sepatu hitam, mondar-mandir di dalam ruang kelas memberikan pelajaran kepada siswa. Di hadapan “penguasa kelas” ini, siswa diam tertunduk takut, dan tidak lupa melipat tangan di atas meja dengan pandangan lurus ke depan. Menjadi guru yang efektif, menjadi tantangan di tengah ironi takdir yang menyelimuti seorang guru di Indonesia.
Menyoal
gaya mengajar guru, pernah seorang teman bertanya, “Mengapa ada guru yang tidak menjelaskan materi pelajaran di kelas?” Lebih jauh
dikatakan, guru tersebut cenderung menyuruh siswa berdiskusi yang kemudian
dilanjutkan presentasi secara bergiliran. “Kalau begitu caranya, kapan anak
kami akan mengerti?” tanyanya dengan nada tinggi.Teman ini merasa sangat
kecewa dengan cara pembelajaran di sekolah anaknya. Bahkan, ia bermaksud mengirim
“surat kaleng” ke sekolah dan menulis surat pembaca di media massa untuk
menghentikan sistem yang menurut pandangan oknum tersebut keliru. Lain lagi
pengalaman seorang mahasiswa PPL yang mengaku pernah diprotes orang tua siswa.
Isi protesnya kurang lebih berkaitan dengan model pembelajaran yang dicobakan
Si Mahasiswa selama melakukan PPL. Pendeknya, gaya mengajar guru menjadi bahan
polemik yang hangat.
Ilustrasi
tersebut merupakan contoh kecil adanya perbedaan pemahaman dalam kebijakan
pengelolaan pendidikan kita, tepatnya yang berkaitan dengan model pembelajaran
saat ini. Realita yang menggambarkan telah terjadinya kesalahfahaman antara
oknum orang tua siswa dengan cara yang dipilih sebagian guru dalam menyajikan
materi pelajaran di kelas. Jika ketidaknyambungan pemahaman ini berlanjut,
tidak mustahil akan menimbulkan permasalahan yang serius di kemudian hari. Bisa
saja orang tersebut benar-benar menyebarluaskan informasi yang sebetulnya
mereka belum cermati duduk persoalan yang sebenarnya. Akibatnya, informasi itu
meluas dan rawan menimbulkan konflik di masyarakat.
Guru Efektif
Sekarang,
guru tidak dibenarkan lagi mencekoki anak dengan ilmu pengetahuan yang baik
menurut pandangan guru secara sepihak. Guru tidak wajar menganggap siswanya
sebagai wadah kosong yang bebas diisi dengan materi apa saja. Apalagi dalam
memilih materi sajian, guru hanya berorientasi pada apa yang dikuasainya, jelas
tidak dapat dibenarkan. Sebab, guru harus mengacu pada standar isi dan standar
kompetensi lulusan (Permendiknas nomor 22 dan 23 tahun 2006). Standar isi dan
standar kelulusan itu kemudian diterjemahkan ke dalam standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan indikator di masing-masing mata pelajaran, yang terangkum
dalam KTSP yang disusun sekolah.
Depdiknas
(2003) menyebutkan, salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum
efektifnya proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi
pada guru (teacher oriented) cenderung mengabaikan hak-hak dan
kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, sehingga proses
pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan saat ini masih
belum optimal.
Berkaitan
dengan cara guru dalam meningkatkan kompetensi siswa, kuranglah tepat kalau
pada era persaingan global ini masih bersifat top-down dengan alur informasi searah. Dalam
arti, guru menyampaikan materi pelajaran sepenuhnya dengan ceramah, seperti
layaknya orang berkampanye atau berpidato lewat radio/TV sama sekali
meninggalkan unsur interaktifnya. Banyak kalangan telah memberi kritik tajam
terhadap cara pengajaran satu arah seperti itu. Telah disadari sepenuhnya bahwa
cara demikian cenderung mencetak lulusan yang hanya bisa mendengar dan piawai
dalam mencontek. Selanjutnya mereka akan tampil sebagai manusia peniru dan
penjiplak, yang tidak memiliki gagasan orisinil, tanpa inisitaif dan lemah
dalam berinovasi.
Saat
ini banyak diwacanakan tentang “guru efektif”. Untuk menjadi guru efektif tidak
cukup hanya melepas kapur dan menggantinya dengan laptop atau menyingkirkan papan tullis untuk
memasang LCD-Projector. Penciptaan guru efektif hendaknya
dimulai dari peningkatan mutu guru. Tim Lesson Study (2007) menegaskan,
peningkatan mutu guru berpengaruh pada meningkatnya mutu pembelajaran, yang
pada gilirannya berakibat pada peningkatan mutu lulusan.
Penelitian
Kamala (dalam Mudyahardjo, 2004) menunjukkan bahwa guru efektif sangat
dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, profesionalisme dan unsur akademik yang
dimiliki guru. Lebih jauh dari itu, Mudyahardjo (2004) menyebutkan bahwa
keberhasilan sebagai guru sangat didukung oleh kepribadian yang meliputi rasa
percaya diri, tanggung jawab, volume dan keindahan suara, serta kesehatan
pribadi. Karakteristik professional meliputi: kejelasan dalam menyampaikan
pelajaran, mengorganisasi mata pelajaran secara sistematis, kemampuan
berekspresi, mampu membangkitkan minat dan motivasi peserta didik, dan menyusun
perencanaan sebagai persiapan pembelajaran secara baik. Selain itu, berhubungan
dengan latar belakang dan keahlian akademik, guru harus mempunyai pengetahuan
yang tepat tentang mata pelajaran serta memiliki kemampuan untuk menyesuaikan
mata pelajaran dengan tingkat kemampuan peserta didik.
Metode
pembelajaran yang dipilih guru hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi
peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang
hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Metode pembelajaran digunakan oleh
guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah
ditetapkan. Hal seperti ini sering dikenal dengan pendekatan berorientasi
kepada anak didik (students oriented).
Pengajaran
dengan model pendekatan berpusat pada anak secara kental mengandung muatan
nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran. Guru
tidak lagi sebagai “penguasa tunggal” di kelas, namun lebih bersifat motivator,
fasilitator, mediator dan motor penggerak untuk mencapai akselerasi
transformasi pengetahuan yang diinginkan. Dalam keadaan demikian, peran siswa
dalam menentukan model interaksi dalam proses pembelajaran juga sangat besar.
Bahkan, pembelajaran efektif tidak hanya dapat dilakukan di kelas, namun juga
sangat mungkin dilakukan di luar kelas. Setidaknya, Ratumanan (2003) secara
tegas menyatakan pendekatan realistik merupakan salah satu pendekatan belajar
yang efektif saat ini.
Kemampuan
guru dalam melaksanakan pembelajaran efektif saat ini masih tersandung beberapa
kendala. Salah satu hambatan yang muncul justru dari orang tua siswa sebagai
akibat ketidakfahaman mereka tentang model pembelajaran inovatif. Untuk itu,
hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan pihak sekolah adalah menggelar
sosialisasi model pembelajaran unggulan kepada anggota komite sekolah secara
periodik dan berkesinambungan. Dengan cara demikian diharapkan masyarakat tidak
lagi apriori dengan perubahan yang dilakukan oleh sekolah. Tetapi sebaliknya,
mereka mendukung program sekolah.