Islam merupakan agama yang paling pesat berkembang di Barat. Masjid-masjid besar dibangun di seantero tanah Inggris, negeri yang menjadi simbol kekuasaan Gereja Anglikan. Pun demikian di negeri-negeri besar Eropa seperti Perancis dan Jerman. Para elit politik (dan kalangan elit gereja tentunya) sangat gundah gulana akan kenyataan ini. Terlebih tekanan kelompok ekstrimis sayap kanan di dalam negeri masing-masing. Mereka terbelenggu oleh ketakutan, yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah bentuk kecemasan akut terhadap terkikisnya dominasi mereka dalam tatanan masyarakat mereka sendiri. Fakta ini menimbulkan kecemasan bahkan ketakutan yang membabi buta masyarakat barat (terutama para elite politik dan gereja) terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Beban psikologis inilah yang dieksploitasi media barat dengan menampakkan gambaran stereotip dan prasangka negatif terhadap Islam, dengan laporan dan tulisan yang sering menonjolkan Islam sebagai agama extremist, fundamentalist, terrorist, dan label negatif lainnya. Ketakutan terhadap segala yang berbau Islam telah berkembang menjadi Islamopobia. Dan dari ketakutan ini, media meraup untung besar, para makelar politik panen pencitraan, dan munculah proyek bisnis mengiurkan bernama...”perang melawan terorisme”
Gambaran stereotaip tentang Islam di dalam media Barat, dan seperti yang difahami oleh orang Barat, sebenarnya bukanlah satu perkara baru dalam pertentangan antara Islam dengan Barat. Masalah ini sebenarnya telah dapat ditelaah kembali kepada jangka masa 1400 tahun yang lalu, ketika Islam dan Kristen terlibat di dalam Perang Salib pada tahun 1100, demikian juga dalam konflik dinasti Utsmaniah ketika Islam berjaya mengembangkan sayapnya ke Eropa yang dianggap sebagai ancaman kepada agama Kristen dan gereja serta pemerintah mereka.
Akibatnya, maka bukan hanya serangan bersenjata saja yang dilakukan terhadap Islam, malah segala upaya untuk melemahkan bahkan menghancurkan Islam telah dihalalkan oleh golongan elit Barat, untuk memastikan bahawa Islam tidak akan bertahan di Barat dan tidak akan mendapat sambutan daripada orang-orang Barat. Perlakuan dan perasaan inilah yang sebenarnya masih disebarkan pada masa kini di dunia Barat.
Kini, Barat yang tidak pernah mampu memahami ajaran Islam yang sebenarnya, serta didorong oleh rasa permusuhan yang telah berakar lama terhadap Islam, telah menjadikan Islam sebagai “musuh baru” selepas tumbangnya Komunis. Untuk legitimasi “Musuh baru” ini, citra menakutkan wajib disematkan. Untuk itu kosa kata menyeramkan harus disandingkan terhadap kata “Islam”. Bim salabim.... muncullah istilah radikal Islam, Islam fundemantalist, Islam extremist, Islam teroris dan lain-lain. Dan dibalik istilah-istilah inilah para penguasa negeri (yang bak para wayang dimana dalangnya adalah Amerika dan sekutunya) mempunyai legitimasi untuk membentuk pasukan elit, detasemen khusus, operasi khusus, dan lain-lain dengan fasilitas “licensi to kill” bagi siapa saja terduga teroris Islam kapanpun tanpa perlu ada pengadilan-pengadilan segala.
Label-label buruk inilah yang telah dilabelkan terhadap Islam, dan salah satu saluran penting dalam mempengaruhi pemikiran awam tentang Islam sebagai musuh baru ini ialah media. Media Barat mempopularkan istilah yang amat mengelirukan, seperti istilah fundemantalis yang dihubungkan dengan keganasan dan fanatik melulu orang Islam, returning to Islam yang ditafsirkan sebagai kembali kepada sistem perundangan Islam yang keras dan tidak manusiawi dan melanggar HAM, Muslim terrorists, dan label-label lainnya.
Sebuah majalah di Barat coba menonjolkan pengertian yang salah tentang Islam, yaitu dengan kenyataan berikut: “Islam is the terrorist… Muslims are the victim”….”we pray that the weapon of mass destruction, Islam, be torn down.” (Terjemahan: Islam adalah teroris… Orang-orang Islam sendiri yang menjadi mangsanya. Kita berdoa supaya senjata pemusnah itu, yaitu Islam, dimusnahkan) – (majalah TIME, edisi 30 Juni, 2003)
Peristiwa 11 September 2001 jelas menunjukkan gambaran buruk kepada umat Islam keseluruhannya, kerana 19 orang “para teroris” yang mempunyai nama orang Islam telah bertindak nekad, menculik dua buah pesawat, sarat dengan minyak yang baru diisi, menerbangkannya dengan laju dan menabrak dua buah menara berkembar World Trade Center di tengah-tengah kota New York, meruntuhkan kedua-duanya dan mengorbankan banyak sekali manusia di dalamnya yang terdiri dari latar belakang bangsa dan agama.
Berawal dari serangan 11 September 2001 yang dikatakan dilakukan oleh “para teroris” Islam inilah yang semaikin menimbulkan ketakutan dan kebencian orang Barat dan musuh-musuh Islam terhadap Islam yang diistilahkan sebagai Islamofobia.
14.200 Warga Kulit Putih Inggris Masuk Islam
Jonathan Birt putra Lord Birt, dan Emma Clark, cucu perempuan bekas PM Herbert Asquith, hanyalah dua di antara hampir 14.000 elit Britania (Inggris) yang menyatakan diri masuk Islam. Inilah hasil studi yang jarang dipublikasikan, bahwa Islam telah menjadi agama paling diminati dan paling cepat berkembang (the fastest growing religion) di negeri Tony Blair itu.
Sebuah studi cukup kompeten pertama kalinya tentang fenomena orang-orang baru Islam itu, dilakukan oleh harian Sunday Times pada 22 Februari lalu. Koran itu mencatat sederetan nama-nama beken elit terkenal Inggris, mulai dari konglomerat, selebritis, hingga keturunan tokoh-tokoh establish senior Inggris, menyatakan diri masuk Islam setelah mereka mengaku kecewa dengan nilai-nilai Barat yang menjemukan.
Studi baru yang dilakukan Yahya (sebelumnya bernama Jonathan) Birt, putra Lord Birt – bekas Direktur Jenderal BBC, dia menyusun data-data valid yang pertama kali tentang fenomena sensitif itu. Bahwa telah terjadi gerakan orang-orang Kristen masuk Islam yang cukup signifikan. Yahya merujuk pada angka sesus terbaru Inggris, lalu merincinya. Akhirnya dia menyimpulkan temuannya, bahwa tak kurang 14.200 warga kulit putih Inggris masuk Islam.
Berbicara untuk pertama kali di hadapan publik tentang keyakinan barunya itu pekan ini, Birt menyebutkan alasannya masuk Islam. Bahwa dia terinspirasi dengan kejadian yang mirip figur Muslim hitam AS terkenal Malcolm X. Menurut Birt, seperti kejadian di AS, demikianlah yang terjadi di Inggris, dimana orang-orang Inggris berbondong-bondong masuk Islam.
“Anda perlu figur-figur transisi yang besar untuk memindahkan Islam ke dalam kehidupan lokal kita,” ujar Birt. Birt meraih gelar doktor dari Oxford University dengan tesisnya soal kehidupan kaum Muda Muslim Inggris, seperti dikutip Sunday Times (ST).
“Gambaran Islam yang diproyeksikan oleh gerakan politik Islam sangat tidak menarik,” tukasnya mengenai alasan pemilihan objek tesis doktornya.
Sebelumnya Birt pernah mengatakan, dia tidak memiliki alasan kenapa dia masuk Islam. “Namun dalam perenungan lebih lama, saya pikir Islam merupakan ajaran lengkap, seimbang, dan integral seluruh aspek ajarannya. Kehidupan spiritual orang-orang Islam juga menarik saya masuk Islam,” akunya.
Sementara itu, pekan ini juga seorang tokoh Inggris terkenal masuk Islam. Dia adalah Emma Clark, cucu perempuan bekas PM Inggris, Herbert Asquith.
Kakek Emma, PM Herbert Asquith, yang ikut melibatkan Inggris dalam perang dunia pertama mengatakan; “Kita semua adalah satu ras. Saya berharap fenomena ini bukan seperti musim yang segera berlalu.”
ST menyebutkan, Emma Clark adalah seorang arsitek taman yang ikut membantu desain sebuah taman Islam bagi Prince of Wales, Highgrove, di rumahnya di Gloucestershire. Saat ini Emma juga ikut membantu membuat taman serupa bagi sebuah masjid di Woking, Surrey