Opini Publik dan Mbah Google

Saat Opini Publik
dan Mbah Google menjadi Dewa

Kehidupan manusia hari ini dengan segala peristiwa yang mengiringnya tidak bisa lepas dari media massa. Mari kita bandingkan, ummat manusia dulu jika menghadapi masalah apapun dalam kehidupan, mereka datang merujuk kepada para ulama, pendeta, biksu dan tokoh-tokoh agama masing-masing. Para tokoh agama selanjutnya memberi nasehat berdasarkan kitab-kitab suci yang ada di tangannya. Ketika yang berlaku masih seperti ini, tatanan kehidupan relatif “berjalan normal”. Namun apa yang terjadi hari ini, dengan dalih hak azasi, dan tuntutan gaya hidup modern, manusia telah menjadikan media massa sebagai rujukan kehidupan. Membaca berita, akses media online, update berita 24 jam adalah segelintir kegiatan yang menjadi amalan wajib. Bagi manusia moderen, media massa adalah sumber rujukan utama, dan bertanya ke “Mbah Google” menjadi pilihan pertama untuk mencari jawab semua permasalahan. Padahal adalah kenyataan, media tidak selalu memberikan informasi yang benar-benar berdasarkan fakta, media sering memanfaatkan kemampuan mereka sebagai pengendali opini publik untuk malah menyamarkan fakta yang ada dan menciptakan fakta-fakta yang mereka ulas berkali-kali seolah itu merupakan fakta yang benar. Dan dari sinilah opini publik berubah dan mulai tebentuk fakta baru yang bersesuaian dengan kepentingan para juragan sponsor media.
Opini Publik dan Rekayasa Fakta
Seperti yang diketahui bahwa media merupakan salah satu pembentuk opini yang paling hebat. Karena media dapat memfokuskan perhatian publik dan memengaruhi persepsi publik tentang apa yang menjadi isu penting. Media berkemampuan mempengaruhi dan mengarahkan publik agar berpikir tentang isu tertentu, sehingga menjadi prioritas pemikiran dan topik pembicaraan, dan publik pun cenderung akan menjadikan sebuah informasi yang disampaikan dan diulang secara terus menerus menjadi sebuah fakta, entah itu merupakan fakta yang valid atau memang fakta yang sengaja direkayasa.
Media bukanlah sarana netral yang menampilkan berbagai ideologi dan kelompok apa adanya, media adalah subjek yang lengkap dengan pandangan, kepentingan, serta keberpihakan ideologisnya. Media berpihak pada kelompok dominan, menyebarkan ideologi mereka sekaligus mengontrol dan memarginalkan wacana dan ideologi kelompok-kelompok lain. Kelompok-kelompok dominan inilah yang akhirnya mem-blow up berita-beita terorisme Islam dan menjadikan isi beritanya seolah-olah Islam adalah agama radikal dan penuh dengan makna terror dalam ajarannya.
Keberadaan media yang begitu dekat dengan berbagai kalangan masyarakat dan begitu mendominasi inilah yang akhirnya menjadi salah satu pemicu terbentuknya pemikiran atau cara pandang baru terhadap sebuah masalah atau isu yang diangkat, salah satunya tentang Islam dan Terorisme. Pemikiran publik yang mulai di racuni oleh berbagai testimoni tentang terorisme Islam berdampak kepada tanggapan publik sendiri tentang Islam dan kaum muslimin, hal ini tentu saja pada akhirnya menciptakan spekulasi antar sesama kaum muslim untuk melahirkan sikap saling curiga di tengah-tengah umat, bahkan bisa memunculkan sikap saling memfitnah. Sikap ini jelas-jelas sangat tidak terpuji dan diharamkan oleh Islam. Kemudian selain itu hal ini akan melahirkan tindakan melawan hukum (main hakim sendiri) terhadap pihak lain hanya karena curiga atau rasa khawatir yang berlebihan. Dan bahkan yang paling tragis melahirkan rasa takut di kalangan umat Islam terhadap agamanya sendiri, hingga tak heran jika sesama kaum muslimin sendiri sering terjadi ghibah dimana biasanya para muslim yang sedang berusaha untuk kaffah dan istiqomah menjadi sasaran caci bahwa mereka adalah “teroris”.
Media sebagai Candu
Media massa menanamkan suatu kesadaran tertentu ke dalam benak publik dalam bentuk berita. Narasi dalam sebuah berita pada akhirnya mengantarkan kepada interprestasi tertentu, diinternalisasikan oleh publik dan pada akhirnya diasumsikan menjadi sebuah realitas. Seperti yang kita sadari selama ini bahwa pengungkapan realitas yang dilakukan oleh media yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus meneruslah yang akhirnya berdampak pada persepsi publik. Media massa dengan segala kuasa dan kelebihannya menggunakan framing berita untuk mengendalikan persepsi publik dan mengendalikannya sesuai dengan kehendak realitas yang mereka angkat. Setiap berita yang diangkat oleh media ditulis berdasarkan sudut pandang individu penulis maupun invidu redaksi berita.
Selama ini media hanya selalu memandang segi nama “Teroris” hanya dari sebelah mata saja. Dengan imbas Islam lah yang selalu jadi topik sasaran berita, Islam selalu terpojokkan dengan sebutan “agama teroris” yang pemeluknya menganut ajaran radikal. Deskriminasi terhadap agama Islam pun sudah mulai dirasa terlihat diluar nalar. Media yang menyadari bahwa telah dicandui oleh publik maka dapat dengan mudahnya merealisasikan berita-berita tentang “Terorisme Islam”, merealisasikan bahwa Islam adalah agama yang keji, menciptakan framing berita sesuai dengan kehendak atmosfir keinginan mereka. Namun seringkali jarang dan bahkan hampir tidak pernah meng-expose berita-berita tentang muslim-muslim yang terjajah, muslim-muslim yang dibantai tanpa ampun. Pendeskriminasian ini pun berdampak buruk terhadap kehidupan sosial para muslim di seluruh dunia.
Pemberitaan yang menyudutkan ini tak hanya membuat kontroversi tentang Islam makin meruncing namun juga tanpa disadari sedikit banyak memberi kontribusi dalam proses perpecahan belah antar umat muslim sendiri. Umat muslim sendiri mulai takut terhadap agama yang dipeluknya sendiri. Merasa takut dengan mereka muslim lain yang berpenampilan kaffah atau dalam pandangan awam disebut “Islam Fanatik” atau lebih ekstremnya lagi disebut dengan sebutan “Islam Radikal”. Selain menebar ketakutan dikalangan muslim, euforia yang sama berhasil diciptakan media pada kalangan non muslim. Mereka yang ketakutan terhadap istilah “Teroris Islam” mulai mengantisipasi perlindungan diri terhadap agama Islam. Misalnya munculnya larangan berjilbab di negara-negara eropa. Di Perancis beberapa orang menyatakan sikap permusuhannya terhadap warga Muslim Perancis dengan mengatakan, “Jilbab merupakan bentuk agresi bagi warga Perancis”, larangan berjilbab tak hanya muncul sebagai perundang-undangan di Perancis, namun juga mulai merambah negara-negara lain yang akhirnya mengeluarkan aturan yang sama. Negara-negara tersebut diantaranya adalah Amerika, Inggris, Belgia, Jerman dll. Ketakutan akan Islam pun mulai merambah pada perbuatan ekstrem seperti yang terjadi di Jerman seorang pria menusukkan pisau dapur berukuran 16 sentimeter sebanyak 16 kali ke tubuh wanita muslim yang berjilbab dan ironisnya wanita ini tengah mengandung 3 bulan. Melihat keadaan seperti ini para muslim yang merasa diintimidasi akan mulai berontak dan melakukan serangkaian aksi membela sesama muslim yang lain, meski terkadang jalur yang dipilih pun tak selalu benar. Kondisi seperti ini tentu saja menarik bagi media untuk meliputnya, meliput konflik tentang kemarahan kaum muslim dan lebih menuju peliputan tindakan-tindakan ekstrem kaum muslim selama membela diri dan tidak mempedulikan alasan kaum muslim kenapa mereka berlaku demikian. Inilah yang akhirnya hanya akan makin memperuncing konflik eksternal maupun internal di kalangan muslim sendiri dan juga akan mempertebal rasa permusuhan para non muslim untuk memusuhi. Karena bagi mereka yang tidak mengerti dengan duduk perkara yang terjadi, mereka hanya akan mengambil mentah dari setiap fakta dan realitas yang diungkap media. Padahal seandainya semua media dapat benar-benar sebagai wadah penyalur informasi sesuai realitas yang ada, tentu saja publik tidak akan mudah terpecah belah dalam berasumsi dan menentukan sikap kepada kaum muslim.
Sayur dan Garam
Ibarat sayur dan garam itulah perumpamaan keberadan media massa ditengah kehidupan masyarakat. Keberadaannnya yang seolah menjadi candu telah menghipnotis publik, ketiadaannya akan menjadikan masyarakat kehausan dan selalu mencari-cari. Kemampuannya dalam mengolah berita dan menjadikannya sebagai konsumsi publik benar-benar telah menunjukkan betapa media memiliki kekuasaan dalam mengendarai pemikiran publik. Namun seharusnya media benar-benar menjadi sumber informasi yang akurat, sumber informasi fleksibel yang memandang dan menyoroti berbagai masalah dari dua sudut pandang, sehingga dengan demikian ibarat penyajian makanan, maka media dapat memberi sarana kepada publik untuk memilih tentang bagaimana nantinya mereka menelan berita yang mereka konsumsi, memberi fasilitas kepada publik untuk menentukan pada kondisi atau situasi berita seperti apa mereka bersikap dan membiarkan publik bereksplorasi sendiri terhadap informasi yang mereka peroleh. Jadi tidak sepenuhya menyetir dan merubah asumsi. Seperti kasus-kasus yang terjadi dengan agama Islam sendiri, berdasarkan dari fakta yang didapat, pencitraan “Islam yang Damai” telah berubah menjadi “Islam yang Penuh Terror” hal ini akibat dari pemberitaan media yang cenderung lebih menyudutkan dan terlalu sering mengkonotasikan Islam sebagai agama yang penuh kekerasan. Dan dampak negatif dari semua ini tak lain adalah terjadinya perpecahan dan rasa saling memusuhi tak hanya antar golongan non muslim terhadap kaum muslim tapi permusuhan juga tak jarang terjadi antar kaum muslim sendiri, karena merasa saling curiga.
Dan sebagai pihak yang menelan berita, masyarakat pun harus berhati-hati terhadap terpaan media massa dan sebaiknya tidak langsung terburu-buru berasumsi, terburu-buru bertindak dan berspekulasi apabila hanya mendapat informasi dari satu sisi saja. Sebaiknya disisir terlebih dahulu berita-berita yang diungkap media, dan berhati-hati agar tidak mudah terpancing dengan isu provokasi media yang menyudutkan golongan-golongan tertentu. Sehingga masyarakat dapat menjadi lebih bijak dalam menilai segala situasi yang ada, tidak mudah terpancing amarah dan bertindak ekstrem.