SIM SALABIM... UN JADI EN
Ibarat nonton pagelaran panggung drama, saat
ini penonton disuguhi tontonan yang cukup keren. Di tengah-tengah drama pergolakan
politik yang kian “membosankan”, pemerintah tampil dengan kebijakan pendidikan
yang cukup krusial. Pasalnya, di tengah masa “bulan madu” sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan memetamorfosa sistem
penentu kelulusan yang semula beristilah Ujian Nasional (UN) menjadi EN
(Evaluasi Nasional).
Sepak terjang Mendikbud langsung menyedot perhatian
publik, bahkan menuai banyak perdebatan. Bagaimana tidak, setelah dunia
pendidikan cukup direpotkan oleh permasalahan kurikulum yang efeknya tidak
berujung. Kini, tiba gilirannya UN menambah repot dunia pendidikan. Pasalnya,
tidak hanya soal dan pelaksanaannya saja yang membuat resah. Namun, sistemnya
pun menambah persoalan baru di kalangan akademisi.
Perubahan
UN menjadi EN tekesan dilematis. Pasalnya, pemberlakuan UN telah bergulir
selama setengah abad silam. Sangat disayangkan apabila UN dihilangkan. Walaupun
acapkali sistem tersebut mengalami pelbagai modifikasi, namun setidaknya UN
merupakan sejarah panjang yang telah mewarnai lika-liku dunia pendidikan
Indonesia. Perubahan ini diapologikan karena mulai terdistorsinya sistem UN dam
menjalankan peran dan fungsinya.
Bapak Anies
Baswedan menyatakan bahwa fungsi atau peran UN dalam pendidikan adalah sebagai
evaluasi pendidikan dan alat pemetaan kualitas pendidikan. Tapi, UN kini justru
berbalik arah menjadi standar kelulusan dan peningkat mutu pendidikan di
Indonesia. Maka dari itu, Anies memetamorfosa UN menjadi EN untuk mengembalikan
fungsi dan peran UN pada fitrahnya. Meskipun demikian, pemberlakuan EN pun
tidak akan lepas dari bayang-bayang kegagalan. Oleh sebab itu, Mendikbud
memberikan upaya lebih untuk membentengi kemungkinan buruk tersebut.
Upaya
ini terlihat pada penerapan program komputerisasi pada soal-soal EN. Dalam
menentukan kelulusan siswa tahun 2015, ujian tidak lagi menggunakan lembar soal
dari kertas. Semua soal akan disampekan melalui monitor yang akan menjadi lawan
para peserta ujian. Upaya ini dilakukan untuk menghemat biaya pengeluaran UN.
Berdasarkan perkiraan Mendikbud, biaya pengeluaran UN bisa ditekan hingga 50%.
Penurunan biaya pengeluaran ini setidaknya bisa dialihkan pada
keperluan-keperluan pendidikan lainnya.
Polemik
UN Online
Meskipun
sistem EN terkesan solutif dalam menangani gejolak polemik UN, namun setidaknya
perubahan ini menuai banyak kritik dan bahkan menimbulkan perdebatan di
kalangan publik. Pasalnya, selain EN terkesan asing, melalui program-program
yang
dicanangkan
pun menimbulkan pelbagai permasalahan baru bagi lingkungan akademisi.
Permasalahan pertama nampak jelas pada sistem komputering. Sistem ini bukanlah sebuah solusi yang efektif untuk menunjang keberhasilan UN. Pasalnya, sistem tersebut hanya potensial untuk diberlakukan pada sekolah-sekolah yang berada di wilayah melek teknologi. Sedangkan wilayah yang berada dalam pusaran arus “kebutaan” teknologi akan terabaikan.
Permasalahan pertama nampak jelas pada sistem komputering. Sistem ini bukanlah sebuah solusi yang efektif untuk menunjang keberhasilan UN. Pasalnya, sistem tersebut hanya potensial untuk diberlakukan pada sekolah-sekolah yang berada di wilayah melek teknologi. Sedangkan wilayah yang berada dalam pusaran arus “kebutaan” teknologi akan terabaikan.
Papua
misalnya, rata-rata kaum akademis di wilayah Indonesia bagian timur ini masih
belum melek teknologi. Bahkan, melihat komputer pun dikira sebagai sebuah
telesisi yang tidak berantena. Apalagi jika harus menggunakan tipikal teknologi
yang cukup rumit tersebut. Toh, kalaupun mengharuskan diadakannya pelatihan,
apakah tidak memakan waktu yang lama?
Salain
itu, pemerintah perlu memperkirakan apakah di daerah-daerah terpencil yang ada
di Indonesia sudah memiliki komputer secara keseluruhan? Nampaknya upaya
pemerintah akan terasa semakin sulit untuk mengadakan UN tahun ini. Jika
pertanyaan-pertanyaan ini tidak dibereskan oleh pemerintah, maka tinggal
menghitung jari pelaksanaan UN akan mengalami kegagalan.
Atau
jika pemerintah membendung kemungkinan-kemungkinan itu dengan pemerataan
teknologi—pemberian komputer pada setiap sekolah di setiap penjuru negeri—bukankah
sama saja merogoh kocek yang lebih dalam lagi. Pasalnya jumlah instansi yang
ada di Indonesia tidaklah sedikit. Jika setiap instansi diberikan 20 komputer
saja, maka 1000 Instansi memerlukan 20.000 komputer. Bukankah memerlukan biaya
yang mahal, belum lagi biaya pengiriman. Lalu, dengan keadaan yang seperti ini,
pemerintah masih mengatakan bahwa biaya UN yang baru lebih murah dibandingkan
UN yang lama? Sungguh logika yang “sesat”.
Di sisi
lain, Sistem UN yang baru akan membuka pintu penyelewengan menjadi kian lebar.
Pasalnya, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
menerangkan bahwa penentu kelulusan dipegang oleh guru dan satuan pendidikan
(sekolah). Jika sistem UN 2015 menerapkan Undang-undang tersebut, maka kongkalingkong
antara siswa, guru dan sekolah kian parah. Sebab, setiap guru dan sekolah
menginginkan semua siswanya lulus, dan cara mudah untuk merealisasikannya
adalah dengan praktik yang penting lulus 100 %. Akibatnya, kualitas
pendidikan akan terabaikan karena mereka lebih memilih “pengakuan pendidikan”
melalui predikat lulus dibanding peningkatan mutu.
Tugas
Pemerintah
Melihat
metamorfosa UN yang ternyata menuai beberapa titik lemah, pemerentah perlu
mencari formulasi untuk setidaknya menutup kelemahan sistem tersebut. Dalam
masalah ini, pemerintah tidak sepatutnyamemberi titah kepada guru dan satuan
pendidikan sebagai elemen penentu kelulusan secara mutlak dan free control.
Pemerintah tetap dan harus melakukan control secara bijak dan akuntabel. Upaya
ini dapat dilakukan dengan sedikit mengkolaborasikan sistem UN lama dengan yang
baru. yakni membagi peran guru dan sekolah dengan pemerintah dalam menentukan
kelulusan siswa. Upaya ini bertujuan untuk menepis kemungkinan terjadinya kong
kaling kong diantara guru, sekolah dan siswa.
Selanjutnya,
masalah pendistribusian soal yang memungkinkan terjadinya kesulitan akibat
ketidakmerataan fasilitas (komputer), perlu diantisipasi. Pemerintah perlu
melakukan pemerataan fasilitas sekolah di kawasan terpencil. Jika tidak, maka
sistem yang dianggap solutif tersebut akan menuai kegagalan. Perlu diketahui,
bahwa dalam pemerataan fasilitas tersebut membutuhkan waktu yang lama dan biaya
yang besar, jika apologi pemerintah mengenai kehematan biaya sistem UN yang
baru ini benar, maka biaya tersebut semestinya digunakan untuk pemerataan
fasilitas (komputer) yang mendukung sestem tersebut.
Selain
itu, pemerintah perlu malakukan pressing terhadap siswa maupun guru
dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Pasalnya, UN atau yang sekarang dimetamorfosakan
sebagai EN, bukanlah satu-satunya jalan untuk memartabatkan pendidikan
Indonesia. Justru mlalui pembelajaran sehari-harilah peningkatkan kualitas
pendidikan dapat dilakukan secara optimal. Dalam upaya ini, perlu adanya
kerjasama yang apik antara siswa, guru dan pemerintah. Semoga pendidikan
Indonesia dapat bergulir lebih baik! Wallahu a’lam.