Misteri e-KTP

MISTERI DIBALIK e-KTP
Jika Anda adalah salah satu penduduk Indonesia yang belum mengurus dan memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) hingga 2014, maka Anda tak perlu ‘kebakaran jenggot’, bahkan anda mungkin tergolong orang yang beruntung. Pasalnya, data setiap penduduk Indonesia yang telah tercatat dalam chip e-KTP, ternyata disimpan dalam server yang tak jelas keberadaanya. Buruknya, data tersebut bisa saja menyebar dan disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memastikan menyetop pembuatan Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP hingga batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Bapak Tjahjo Kumolo khawatir karena server untuk chip di e-KTP berada di negara lain.
Mendagri mengungkapkan sejumlah fakta yang ditemukan yang dianggap cukup serius. Pertama, ada dugaan korupsi dalam proyek itu. Kedua, server yang digunakan e-KTP milik negara lain sehingga database di dalamnya rentan diakses pihak tidak bertanggungjawab. Ketiga, vendor fisik e-KTP tidak menganut open system sehingga Kemendagri tidak bisa mengutak-utik sistem tersebut. Keempat, banyak terjadi kebocoran database. Misalnya, di kolom nama tertulis nama perempuan, tapi foto yang bersangkutan menunjukkan laki-laki.

Mendagri melakukan dua hal mengenai temuan tersebut. Persoalan dugaan korupsi, Tjahjo Kumolo menyerahkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara, persoalan sistem yang bobrok akan dirapatkan terlebih dahulu dengan sejumlah pihak.
"Saya sudah minta ke Menko Polhukam, rapat terbatas dengan Polisi, Jaksa Agung, BIN, Bais. Ini menyangkut kerahasian negara. Kita akan gelar di rapat kabinet," ujar Tjahjo.
Keseluruhan informasi prinsipil yang terdapat dalam server e-KTP berupa data kelahiran, agama, pendidikan, alamat, nomor induk kependudukan, serta sidik jari perorangan.
Menurut pakar teknologi informasi asal Institut Teknologi Bandung (ITB) Deddy Syafwan, jika data-data tersebut ‘dititipkan’ pada server yang tidak dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri, maka berarti kita sudah menjual aset milik sendiri ke pihak asing.
“Semua ini adalah data prinsipil kita. Buat apa kita hidup, kalau kerahasiaan data kita sudah tidak ada? Pihak asing akan sangat mudah memetakan kondisi demografi kita, dan yang terpenting E-KTP sudah tidak aman lagi,”  katanya.
Pemangku proyek, Kementerian Dalam Negeri era pemerintahan sebelumnya menjamin  e-KTP ala Indonesia tidak akan dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Aroma Spionase Asing
Satu hal yang mungkin belum menjadi perhatian publik dalam kaitan dengan e-KTP adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Perhatian publik selama ini tertuju pada dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam tender pengadaan e-KTP. Seperti pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah media nasional, pemenang tender sudah dirancang sedari awal. Sejumlah rapat, yang dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi pemenang), sejumlah vendor (termasuk perwakilan L-1), dan pemilik tender (pemerintah) terjadi jauh sebelum pemenang tender diumumkan.
 L-1 Identity Solutions adalah penyuplai perangkat perekam sidik jari e-KTP. Keberadaan L-1 dalam proyek e-KTP, bukan dalam konteks kolusi proyek tapi terkait keamanan nasional. L-1 mengutus seorang Lead Solution Architect ke Indonesia selama pengadaan e-KTP.
L-1 Identity Solutions Inc. adalah perusahaan besar dengan nama besar, tapi kredibilitasnya meragukan. L-1 yang berbasis di Stamford, Connecticut, Amerika Serikat (AS), adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar. Perusahaan yang berdiri pada Agustus 2006 ini, mengambil spesialisasi dalam bidang teknologi identifikasi biometrik (seperti sidik jari, retina, dan DNA). L-1 juga menyediakan jasa konsultan dalam bidang intelijen.
Jika melihat siapa di balik L-1, maka kita tak perlu heran melihat prestasi “bebas-hambatan” di atas. Manajemen puncak L-1, secara khusus, memiliki sejarah hubungan dekat dengan CIA, FBI, dan organisasi pertahanan AS lainnya. Mereka pada umumnya, memiliki latar belakang dan rekam jejak yang seharusnya membuat kita tidak nyaman.
Kasus bocornya ratusan ribu dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) oleh Wikileaks bisa menjadi contoh.
Stanford Washington Research Group, dalam laporannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar internasional proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai US$14 miliar selama periode 2006-2011. L-1 menebar proyek hingga ke lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1 digandeng Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam proyek visa, paspor, dan SIM. Sejumlah kalangan menyebut L-1 kian memonopoli bisnis identitas di AS, dan secara global, apalagi setelah mereka diakuisisi Safran Morpho, perusahaan keamanan multinasional asal Prancis, pada Juli 2011. Jika melihat siapa di balik L-1, maka kita tak perlu heran melihat prestasi “bebas-hambatan” di atas. Manajemen puncak L-1, secara khusus, memiliki sejarah hubungan dekat dengan CIA, FBI, dan organisasi pertahanan AS lainnya. Mereka, pada umumnya, memiliki latar belakang dan rekam jejak yang seharusnya membuat kita tidak nyaman. L-1 mencatat nama George Tenet, mantan Direktur CIA, dalam dewan direktur.