DINAR VS DOLLAR
MENUJU REKONSTRUKSI
SISTEM MATA UANG
Secara historis pemakaian koin emas dan
koin perak sebagai alat tukar telah berlangsung sebelum Islam datang, termasuk
di Jazirah Arab. Sebutan dinar,
misalnya, berasal dari koin Rumawi, denarius, sedangkan dirham berasal
dari koin Persia, drachma.
Lahirnya Islam sebagai sebuah peradaban
dunia yang dibawa dan disebarkan Rasulullah Muhammadr telah memberikan perubahan yang cukup
signifikan terhadap penggunaan emas sebagai mata uang yang digunakan dalam
aktivitas ekonomi dan perdagangan. Pada masa Rasulullahr, ditetapkan berat standar dinar diukur
dengan 22 karat emas, atau setara dengan 4,25 gram (diameter 23 milimeter).
Standar ini kemudian dibakukan oleh World Islamic Trading Organization (WITO),
dan berlaku hingga kini.
Dari Koin Emas hingga Kertas Dollar
Sejak awal
mula, Islam memakai dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang. Pada masa
Khalifah 'Umar ibn al-Khaththabt (13-23 H/
634-644 M), ditetapkan perbandingan standar bobot dirham perak dengan dinar
emas, yakni 10 : 7 (1 mithqal). Selanjutnya pada masa Kekhalifahan Utsman ibn
'Affant (23-35 H/ 644-656 M), dicetak koin yang meniru dirham
perak Sassanian Yezdigird III. Dalam koin itu telah tertera tulisan
"Bismillah".
Sementara itu, Italia
tercatat sebagai salah satu negara yang pertama kali mengedarkan uang kertas. Pada abad XI, uang kertas mulai
diedarkan dengan sangat terbatas di kalangan pedagang dan bankir Italia. Empat
abad setelah itu uang-kertas beredar meluas ke Napel, Swedia, Köln, Wina, dan
Granada.
Tahun 1694 M., muncullah fenomena baru
dalam sistem mata uang dunia, yaitu digunakannya lembaran kuitansi yang
dikeluarkan bank sebagai alat mata uang. Peristiwa ini berawal dari munculnya bank sentral pertama,
yakni Bank of England yang didirikan William Paterson. Untuk membiayai perang
melawan Prancis, ia meminjamkan kekayaan banknya --dengan bunga tentunya-- kepada
William of Orange, Raja Inggris. Ketika meruak kabar yang menyatakan bahwa
sebenarnya jumlah emas yang dimiliki bank tersebut tak cukup bagi jaminan
transaksi yang dilakukan dengan menggunakan kuitansi bank, pemerintah lalu
mengeluarkan undang-undang yang mengesahkan kuitansi sebagai uang yang nilainya
setara dengan emas yang diwakilinya. Sejak itu kuitansi utang menjadi alat
tukar sah.
Tragedi keuangan akibat melonjaknya
pemakaian uang kertas mulai merebak tahun 1760-an M.. Krisis ini terjadi karena
diciptakannya kuitansi utang bank sebagai mata uang kertas padahal tidak
disokong uang nyata (emas-perak), dan kredit tumbuh dengan proporsi tak teratur.
Pada awal abad ke-18
beberapa negara besar Eropa kembali menggunakan standar emas. Diantaranya
Inggris. Pada tahun 1816 M. mereka kembali ke standar emas, namun saat itu
uang-kertas telah diterbitkan bank. Emas dan perak tak lagi menjadi mata uang
utama. Untuk membiayai perang melawan Perancis, parlemen Inggris mengambil
langkah licik dengan mengesahkan Bank Restriction Act, yakni untuk sementara
uang kertas tak bisa ditukar ke emas-perak, dan ini tetap berlangsung selama 24
tahun! Mengapa demikian, jawabannya sederhana, stok emas sudah tidak sebanding
lagi dengan jumlah nominal uang kertas yang beredar.
Di kalangan
negara berpenduduk Muslim, Turkilah yang pertama kali menerbitkan uang kertas.
Pada tahun 1840 dan 1842, uang kertas Turki mulai diterbitkan di negeri yang
separuh wilayahnya berada di daratan Eropa ini.
Tahun 1898 M. terjadi
polemik hebat di Mesir mengenai perbankan. Pihak University of Al-Azhar di
Kairo mengeluarkan fatwa haramnya perbankan. Namun pada tahun berikutnya, Muhammad
Abduh ditunjuk sebagai mufti besar dan direktur University of Al-Azhar oleh
Lord Cromer untuk mengesahkan perbankan. Lord Cromer adalah julukan bagi Mayor Evelyn Baring, putra
Lord Revelstoke dan anggota Baring's Bank (Yahudi Lithuania). Dia dikirim ke
Mesir sebagai perwakilan dan Konsul Jendral Inggris.
Awal abad 19 ditandai dengan sejarah
diterbitkannya Dolar Amerika Serikat, uang kertas (fiat money) ini diterbitkan Bank
Sentral Amerika (Federal Reserve Bank) yang mayoritas sahamnya dikuasai Yahudi.
Sebenarnya sebelum 1913, Pemerintah AS memperoleh pendapatan terbesarnya dari
tarif impor. Saat itu belum ada pajak terhadap warga AS. Mata uang Amerika pun
kala itu dibuat dari logam asli atau yang bisa dihargai/dikembalikan sebagai
logam, dikenal sebagai “real money” (uang asli).
Namun Pada 1913, para bankir Yahudi
membuat analisis bahwa telah terjadi kekurangan mata uang di AS dan pemerintah
tidak bisa menerbitkan mata uang lagi karena semua emas cadangannya telah
terpakai. Agar ada sirkulasi tambahan uang, sekelompok orang mendirikan suatu
bank yang dinamakan “The Federal Reserve Bank of New York” atau disingkat The
Fed.
The Fed menjual stok emas senilai US$
450.000.000 yang dimilikinya kemudian dibeli oleh jaringan perbankan Rothschild
Bank of London, Rothschild Bank of Berlin, Warburg Bank of Hamburg, Warburg
Bank of Amsterdam (keluarga Warburg dan Rothschild mengontrol German
Reichsbank), Israel Moses Seif Bank of Italy, Lazard Brothers of Paris,
Citibank, Goldman & Sach of New York, Lehman & Brothers of New York,
Chase Manhattan Bank of New York dan Kuhn & Loeb Bank of New York.
Bank-bank tersebut di atas (yang
ternyata di pihak yang sama dengan pendiri The Fed) memiliki cadangan emas yang
besar sehingga bank tersebut dapat mengeluarkan mata uang dengan jaminan emas
tersebut dan mata uang itu disebut “Federal Reserve Notes”. Bentuknya sama
dengan mata uang Amerika dan masing-masing dapat saling tukar.
Uang “Federal Reserve Notes” yang
dikeluarkan oleh The Fed dan jaringannya ini menjadi pinjaman The Fed kepada AS,
sehingga pada saat jatuh tempo harus dibayar sekaligus bunganya. Untuk membayar
bunga pinjaman ini, pemerintah AS menciptakan income tax (pajak penghasilan). Jadi
sebenarnya semenjak tahun 1913 warga negara Amerika membayar bunga kepada The
Fed dari mata uang yang mereka pakai sendiri. Sejak saat itu seluruh income tax
yang terkumpul dibayarkan ke Federal Reserve sebagai bunga atas pinjaman AS
kepada The Fed.
Tahun 1934 Presiden Roosevelt
memerintahkan seluruh bank di Amerika untuk tutup selama satu minggu dan
menarik emas serta mata uang yang dijamin oleh emas dari masyarakat dan
menggantinya dengan lembaran kertas “seolah-olah uang” yang dicetak The Federal
Reserve. Tahun itu dikenang sebagai “liburan bank nasional”. Dan saat inilah
awal uang kertas Dollar menjadi monster sistem keuangan dunia.
Sebagai reaksi dari munculnya uang
kertas cetakan The Federal Reserve, rakyat mulai menahan emasnya karena tidak
mau memakai uang kertas tak bernilai, yang oleh The Fed dimanipulasi menjadi
“seolah-olah uang” itu. Maka untuk menarik emas yang disimpan oleh masyarakat,
Roosevelt tampil ala “Dajjal kecil” pada tahun 1934. Ia mengeluarkan perintah
bahwa setiap warga negara dilarang memiliki emas. Para penegak hukum pun mulai
melakukan penggeledahan terhadap orang yang memiliki emas dan segera menyitanya
bila ditemukan. Pada saat itu rakyat yang ketakutan berbondong-bondong menukar
emasnya dengan sertifikat/bond bertuliskan I.O.U yang ditandatangani oleh
Morgenthau (Menteri Keuangan Amerika). Kejadian ini merupakan perampokan emas
besar-besaran yang terjadi dalam sejarah umat manusia.
Selanjutnya pada tahun 1944, The Fed
mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk memrakasai Perjanjian Bretton Wood yang
melahirkan IMF dan World Bank. Dengan perjanjian ini mata uang dunia dikaitkan
satu sama lain dan terikat dengan Dollar AS yang nilainya secara tetap masih dijamin
dalam emas. Mulai saat itu lantas dikenal Fixed
Exchange Rate System. Yaitu sebuah sistem yang menuntut agar volume nilai
suatu mata uang selalu dikaitkan dengan emas sebagai agunan. Saat sistem ini
digulirkan, semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan Dollar
Amerika Serikat. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank
Sentral Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496
gram. Dengan demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan dengan
emas melalui Dollar.
Dalam perkembangannya, Bank Sentral
Amerika “berkhianat” dengan jalan mencetak lembaran uang Dollar melebihi
kapasitas emas yang menjadi agunannya. Bank Sentral yang kondang menjadi pusat
lobi Yahudi ini seenaknya sendiri mencetak lembaran Dollar tanpa
memperhitungkan banyaknya emas yang mestinya menjadi jaminannya. Sebagai
reaksinya, terjadilah krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap Dolar
Amerika. Perancis tercatat
negara yang pertama kali menentang dominasi Dollar dengan menukarkan 150 juta
Dollar dengan emas. Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang
menarik sejumlah 60 juta Dollar AS dengan emas.
Menyadari cadangan emas perbankannya
berkurang secara drastis, gaya koboi negeri Paman Sam ini kembali muncul. Secara sepihak pada tanggal 15 Agustus
1971 melalui Dekrit Presiden Nixon, Federal Reserve Bank membatalkan Fixed Exchange Rate System (Bretton
Woods System). Dengan demikian,
semenjak itu Dollar tidak lagi dijamin dengan emas.
Maka mulai saat itu berlakulah sistem
baru yang disebut dengan floating
exchange rate. Sistem yang lebih dikenal sebagai sistem kurs mengambang ini
mata uang sama sekali tidak dijamin
logam mulia. Penentuan nilai
mata uang ditetapkan melalui mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di
bursa valas. Suatu pemerintahan melalui Bank Sentralnya masing-masing bebas
menerbitkan sejumlah berapa pun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata
uang cenderung tertekan, dan selalu muncul kecenderungan inflasi. Era
berlakunya sistem ini juga ditandai dengan maraknya aksi spekulan di pasar uang
yang mengakibatkan nilai mata uang berfluktuasi secara bebas.
Alternatif yang Paling Mungkin
Dari catatan kejadian-kejadian di atas,
terlihat betapa dahsyat dan rapinya konspirasi Yahudi untuk menguasai sektor
ekonomi sebuah negara adidaya sebesar Amerika sekali pun. Banyak orang salah
paham menganggap bahwa The Fed merupakan lembaga keuangan Amerika, padahal
mereka (The Fed) merupakan sekelompok pengusaha swasta Yahudi yang memiliki hak
untuk mencetak Dollar.
Penggunaan uang kertas Dollar Amerika
Serikat (AS) yang diterima oleh 70 persen adalah ironi terbesar dunia saat ini.
Dollar yang terdistribusi secara luas menempatkan AS pada tempat istimewa.
Melalui Dollar, AS mengeksploitasi dan mengalihkan beban inflasi yang
ditanggungnya pada seluruh pemakai Dollar di seantero dunia. Negara-negara
ketiga didera krisis ekonomi berkepanjangan lantaran harus membayar inflasi
yang ditimbulkan oleh penggunaan uang kertas tersebut.
Bukan itu saja, ketidakadilan juga
tersimak saat negara-negara ketiga terpaksa menyerahkan pelbagai komoditas
mereka seperti minyak, kayu, dan kekayaan alam lainnya sementara AS cukup
menukar semua komoditas itu dengan uang kertas yang bisa dicetak berapa saja
kapan saja.
Setelah mata uang kertas terbukti
menyeret perekonomian dunia ke jurang kehancuran, maka kini mulai muncul wacana
mencari sistem alternatif. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap
radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan
mata uang fisik Dinar dan Dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata
uang sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana kesepakatan Bretton Woods.
Sedangkan yang paling lunak adalah seperti adanya sekarang, hanya bagaimana
pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur kecurangan (spekulasi, riba)
dalam sistem moneter yang berlaku.
Dengan kondisi saat ini, alternatif yang
pertama yaitu kembali mengunakan mata uang Dinar dan Dirham, saat ini akan
(masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena elit politik di hampir semua
negara belum ada yang terang-terangan siap berdiri membela kembalinya Dinar dan
Dirham menjadi mata uang dunia. Sehingga seandainya negara-negara Islam
mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan Dinar dan Dirham sebagai mata uang
internasional, akan banyak penolakan bahkan di negara Islam sendiri. Apalagi
Barat dan lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia dan IMF yang memang phobia
terhadap Islam.
Maka peluang terbesar untuk dapat
mengerem merajalelanya “teror Dollar” ada pada usulan moderat, yaitu agar semua
mata uang sekarang kembali dibackup dengan emas. Sistem inilah yang dikenal
dengan istilah Bretton Woods II.
Memang untuk kembali ke Dinar dan
Dirham tidaklah semudah membalik telapak tangan, terutama hambatan secara
politis dan psikologis. Apalagi sebagian ummat Islam sendiri yang “belum yakin”
terhadap syariah. Sebagian yang lain terjebak dalam keawaman akan syariah.
Dengan keadaan ini, adalah pekerjaan rumah kita bersama, untuk menumbuhkan keyakinan
dan sifat cinta kepada syariah dalam segala dimensi kehidupan. Menyadarkan
ummat Islam akan kedzoliman Dollar dan menyadarkan ummat akan keadilan dan
keberkahan Dinar sebagai mata uang yang paling sesuai dengan Syariat Islam.
Usaha ini adalah pekerjaan besar yang semestinya menjadi tanggung jawab setiap
diri orang Islam.
Meskipun demikian, apabila kita
memiliki niat yang lurus untuk mencari solusi dari problematika umat zaman ini
dengan meneladani Uswatun Hasanah kita, yakni Rasulullahr, kemudian kita beristiqomah dijalan
ini, Insya Alloh umat ini akan kembali
berjaya seperti yang pernah ditunjukkannya selama 14 abad lamanya mulai dari
zaman Kenabian, jaman Khalifaur-Rasyidin, sampai kejatuhan kekhalifahan Utsmaniah
di Turki 82 tahun lalu (1924).Insya Alloh! (tholhah_kdl, Tijara dokumen)