Emas: Sebagai Uang Masa Lampau dan Uang yang
Akan Datang,
demikian judul tulisan ini diambilkan dari judul buku yang ditulis oleh Nathan
Lewis (John Wiley & Son, 2007) seorang ekonom senior pada sebuah perusahaan
Asset Management di New York. Dia juga aktif menulis di media financial
kenamaan seperti Financial Times dan the Wall Street Journal. Karena
buku ini terbit tahun 2007, jadi masih up to date untuk ukuran buku ekonomi.
Buku ini terdiri
dari tiga bagian utama. Bagian Pertama, membahas uang dalam berbagai bentuknya.
Bagian Kedua, membahas sejarah uang Amerika Serikat. Dan Bagian Ketiga,
membahas Krisis Mata Uang di Seluruh Dunia, termasuk di antaranya diulas krisis
serius di Asia dan tentu Indonesia akhir tahun 90-an.
Yang menarik dari
buku ini adalah bahwa meskipun yang bersangkutan bukan seorang muslim, dalam
hal uang dia memiliki pemikiran yang lurus. Dalam salah satu kesimpulannya, dia
menulis seperti ini: Mungkin perlu waktu beberapa tahun atau beberapa puluh
tahun, tetapi era uang kertas perlahan-lahan akan berakhir; Dunia tidak
memiliki pilihan lain kecuali kembali ke hard currency. Manfaat dari hard
currency sungguh luar biasa. System hard currency masa depan akan berdasarkan
emas, sama persis dengan yang terjadi di masa lampau.
Kalau Nathan Lewis
mungkin belum terlalu terkenal, jadi pendapatnya bisa saja tidak dianggap oleh
para pelaku ekonomi zaman ini; tetapi siapa yang tidak kenal John Naisbitt –
yang di dunia barat dianggak bak ‘dewa’-nya ekonomi modern karena prediksi dia
tentang trend perekonomian dalam beberapa bukunya selama 20 tahun terakhir
terbukti akurat? Apa kata John Naisbitt tentang uang ini di bukunya terakhir
(Mind Set)? Menurut dia monopoli terakhir yang akan segera ditinggalkan oleh
umat manusia adalah monopoli uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu negara.
masyarakat tidak akan lagi mempercayai mata uang kertas dan pindah ke yang dia
sebut mata uang privat. Apa itu mata uang privat? Yaitu benda-benda riil yang
memang memiliki nilai intrinsik.
Sayang sekali Natha Lewis dan John Naisbitt
bukan Muslim, kalau dia tahu bahwa Islam memiliki sistem uang Dinar/Dirham-nya
yang baku sejak ribuan tahun lalu sampai akhir zaman – pasti dia akan tahu
betapa benarnya agama ini.
Mengenal
Dinar dan Dirham Islam
Banyaknya orang mengira bahwa Dinar Iraq
dan lain sebagainya adalah sama dengan Dinar Islam. Padahal Dinar Iraq dan
sejenisnya adalah tidak sama dan bukan Dinar Islam. Dinar Iraq adalah uang
kertas biasa, sedangkan Dinar Islam adalah uang emas 22 karat 4.25 gram.
Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat
tukar perdagangan telah dikenal ribuan tahun yang lalu seperti dalam sejarah
Mesir kuno sekitar 4000 SM – 2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar uang
emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46
SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas
ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12 : 1 untuk perak terhadap
emas. Standar Julius Caesar ini berlaku di belahan dunia
Eropa selama sekitar 1250 tahun, yaitu sampai tahun 1204.
Di belahan dunia
lainnya di Dunia Islam, uang emas dan perak yang dikenal dengan Dinar dan
Dirham juga digunakan sejak awal Islam baik untuk kegiatan muamalah maupun
ibadah seperti zakat dan diyat sampai berakhirnya Kekhalifahan Usmaniah Turki
tahun 1924.
Standarisasi berat uang Dinar dan Dirham mengikuti Hadits Rasulullahr, “Timbangan
adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah.”
(HR. Abu Daud).
Pada zaman Khalifah
Umar bin Khaththabt sekitar tahun 642
Masehi bersamaan dengan pencetakan uang Dirham pertama di kekhalifahan, standar
hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 Dinar sama
dengan berat 10 Dirham. Berat 1 Dinar ini sama dengan 1 mitsqal atau kurang
lebih setara dengan berat 72 butir gandum ukuran sedang yang dipotong kedua
ujungnya. Dari Dinar-Dinar yang tersimpan di musium setelah ditimbang dengan
timbangan yang akurat maka diketahui bahwa timbangan berat uang 1 Dinar Islam
yang diterbitkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah 4.25 gram,
berat ini sama dengan berat mata uang Byzantium yang disebut Solidos dan mata
uang Yunani yang disebut Drachma. Atas dasar rumusan hubungan berat antara
Dinar dan Dirham dan hasil penimbangan Dinar di musium ini, maka dapat pula
dihitung berat 1 Dirham adalah 7/10 x 4.25 gram atau sama dengan 2.975 gram .
Sampai pertengahan
abad ke-13 baik di negeri Islam maupun di negeri non-Islam sejarah menunjukan
bahwa mata uang emas yang relatif standar tersebut secara luas digunakan. Hal
ini tidak mengherankan karena sejak awal perkembangannya-pun kaum muslimin
banyak melakukan perjalanan perdagangan ke negeri yang jauh. Keanekaragaman
mata uang di Eropa kemudian dimulai ketika Republik Florence di Italia pada
tahun 1252 mencetak uangnya sendiri yang disebut emas Florin, kemudian diikuti
oleh Republik Venesia dengan uangnya yang disebut Ducat. Pada akhir abad ke 13
tersebut Islam mulai merambah Eropa dengan berdirinya Kekhalifahan Usmaniyah
dan tonggak sejarahnya tercapai pada tahun 1453 ketika Muhammad Al Fatih
menaklukkan Konstantinopel dan terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasan
Kekhalifahan Usmaniyah.
Selama tujuh abad, dari
abad ke 13 sampai awal abad 20, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang paling
luas digunakan. Penggunaan Dinar dan Dirham meliputi seluruh wilayah Kekuasaan
Usmaniyah yang meliputi tiga benua, yaitu Eropa bagian selatan dan timur,
Afrika bagian utara, dan sebagian Asia. Pada puncak kejayaannya kekuasaan
Usmaniyah abad 16 dan 17 membentang mulai dari Selat Gibraltar di bagian barat
(pada tahun 1553 mencapai pantai Atlantik di Afrika Utara) sampai sebagian
kepulauan Nusantara di bagian timur, kemudian dari sebagian Austria, Slovakia,
dan Ukrania di bagian utara sampai Sudan dan Yemen di bagian selatan. Apabila
ditambah dengan masa kejayaan Islam sebelumnya, yaitu mulai dari awal Kenabian
Rasululullahr (610), maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham
adalah mata uang modern yang dipakai paling lama (14 abad) dalam sejarah
manusia.
Selain emas dan
perak, baik di negeri Islam maupun non-Islam, juga dikenal uang logam yang
dibuat dari tembaga atau perunggu. Dalam fiqih Islam, uang emas dan perak
dikenal sebagai alat tukar yang hakiki (thaman haqiqi atau thaman khalqi)
sedangkan uang dari tembaga atau perunggu dikenal sebagai fulus dan menjadi
alat tukar berdasar kesepakatan atau thaman istilahi. Dari sisi-sifatnya yang
tidak memiliki nilai intrinsik sebesar nilai tukarnya, fulus ini lebih dekat
kepada sifat uang kertas yang kita kenal sampai sekarang .
Dinar dan Dirham
memang sudah ada sejak sebelum Islam lahir, karena Dinar (Dinarium) sudah
dipakai di Romawi sebelumnya dan Dirham sudah dipakai di Persia. Kita ketahui
bahwa apa-apa yang ada sebelum Islam namun setelah turunnya Islam tidak
dilarang atau bahkan juga digunakan oleh Rasulullahr, maka hal itu menjadi ketetapan (Taqrir) Rasulullahr yang berarti menjadi bagian dari ajaran Islam itu
sendiri, Dinar dan Dirham masuk kategori ini.
Di Indonesia di masa ini, Dinar dan Dirham
hanya diproduksi oleh Logam Mulia, PT. Aneka Tambang TBK. Saat ini Logam
Mulia-lah yang secara teknologi dan penguasaan bahan mampu memproduksi Dinar
dan Dirham dengan Kadar dan Berat sesuai dengan Standar Dinar dan Dirham di
masa awal-awal Islam.
Standar kadar dan berat ini pun tidak hanya
disertifikasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), tetapi
juga oleh lembaga sertifikasi logam mulia internasional yang sangat diakui
yaitu London Bullion Market Association (LBMA). Seperti di awal Islam yang
menekankan Dinar dan Dirham pada berat dan kadarnya --bukan pada tulisan atau
jumlah/ukuran/bentuk keping--, maka berat dan kadar emas untuk Dinar serta
berat dan kadar perak untuk Dirham produksi Logam Mulia di Indonesia saat ini
memenuhi syarat untuk kita sebut sebagai Dinar dan Dirham Islam zaman sekarang.
Mungkin Anda bertanya
apakah ada uang atau unit of account di zaman ini yang tidak terpengaruh
oleh inflasi? Jawabnya ada, yaitu mata uang yang memiliki nilai intrinsik yang
sama dengan nilai nominalnya yaitu mata uang yang berupa emas dan perak atau
dalam khazanah Islam disebut sebagai Dinar dan Dirham.
Mungkin pertanyaan
Anda selanjutnya adalah apa benar emas dan perak atau Dinar dan Dirham tidak
terpengaruh oleh inflasi atau daya belinya memang tetap sepanjang zaman? Untuk
menjawab pertanyaan ini diperlukan uraian yang agak panjang sebagi berikut: Beberapa
bukti sejarah yang sangat bisa diandalkan karena diungkapkan dalam al-Qur’an
dan Hadits dapat kita pakai untuk menguatkan teori bahwa harga emas (Dinar) dan
perak (Dirham) yang tetap, sedangkan mata uang lain yang tidak memiliki nilai
intrinsik terus mengalami penurunan daya beli (terjadi inflasi).
Dalam Al-Qur'an yang
agung, Alloht berfirman, "Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka
saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara
mereka: ”Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita
tinggal (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan
kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu tinggal (di sini). Maka suruhlah
salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan
hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa
makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun". (Al-Kahf.19)
Di ayat tersebut
diatas diungkapkan bahwa mereka meminta salah satu rekannya untuk membeli makanan
di kota dengan uang peraknya. Tidak dijelaskan jumlahnya, tetapi yang jelas
uang perak. Kalau kita asumsikan para pemuda tersebut membawa 2-3 keping uang
perak saja, maka ini konversinya ke nilai Rupiah sekarang akan berkisar Rp
100,000. Dengan uang perak yang sama sekarang (1 Dirham sekarang sekitar Rp
33,900) kita dapat membeli makanan untuk beberapa orang. Jadi
setelah lebih kurang 18 abad, daya beli uang perak relatif sama. Coba
bandingkan dengan Rupiah, tahun 70-an akhir sebagai anak SMA yang kos saya bisa
makan satu bulan dengan uang Rp 10,000,-. Apakah sekarang ada anak kos yang
bisa makan satu bulan dengan uang hanya Rp 10,000 ? jawabannya tentu tidak.
Jadi hanya dalam tempo kurang dari 30 tahun saja uang kertas kita sudah amat
sangat jauh perbedaan nilai atau kemampuan daya belinya.
Mengenai daya beli uang emas Dinar dapat
kita lihat dari Hadits berikut, ”Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami,
Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami,
ia berkata : saya mendengar penduduk bercerita tentang ’Urwah, bahwa Nabir
memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk
beliau; lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual
satu ekor dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor
kambing. Nabir mendoakannya dengan
keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli debu pun, ia pasti
beruntung.”
(H.R.Bukhari)
Dari hadits tersebut kita bisa mengetahui
bahwa harga pasaran kambing yang wajar di zaman Rasulullahr adalah
satu Dinar. Kesimpulan ini diambil dari fakta bahwa Rasulullahr adalah
orang yang sangat adil, tentu beliau tidak akan menyuruh ‘Urwah membeli kambing
dengan uang yang kurang atau berlebihan. Fakta kedua adalah ketika ‘Urwah
menjual salah satu kambing yang dibelinya, ia pun menjual dengan harga satu
Dinar. Memang sebelumnya ‘Urwah berhasil membeli dua kambing dengan harga satu
Dinar, ini karena kepandaian beliau berdagang sehingga ia dalam hadits tersebut
didoakan secara khusus oleh Rasulullahr. Dalam riwayat lain
ada yang mengungkapkan harga kambing sampai 2 Dinar, hal ini mungkin-mungkin
saja karena di pasar kambing mana pun selalu ada kambing yang kecil, sedang, dan
besar. Nah, kalau kita anggap harga kambing yang sedang adalah satu Dinar, yang
kecil setengah Dinar, dan yang besar dua Dinar pada zaman Rasulullahr, maka
sekarang pun dengan ½ sampai 2 Dinar (1 Dinar pada saat saya menulis artikel
ini = Rp 1,171,725) kita bisa membeli kambing dimana pun di seluruh dunia –
artinya setelah lebih dari 14 abad daya beli Dinar tetap. Coba bandingkan
dengan Rupiah kita. Pada waktu awal 70-an harga kambing saat itu berkisar Rp 8.000.
Setelah 35 tahun apakah kita bisa membeli kambing yang terkecil sekalipun pun
dengan Rp 8.000? Tentu tidak. Bahkan ayam pun tidak bisa dibeli dengan harga Rp
8. 000. *Pemilik dan pengelola Wakala
Nurdinar Cirebon dan gerai dinar.com