Dari duka Karbala hingga malam 1 suro

FADHILAH MUHARRAM
Antara Duka Karbala hingga Malam 1 Suro


Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar.
Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.
Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan berbuat dosa.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS At-Taubah: 36)
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان.))
Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta RajabMudhar yang terletak antara Jumada dan Sya’ban. “2
Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya. Qatadah rahimahullah pernah berkata:
(إنَّ الظُّلْمَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْراً مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهَا، وَإِنْ كَانَ الظُّلْمُ عَلَى كُلِّ حَالٍ عَظِيْماً، وَلَكِنَّ اللهَ يُعَظِّمُ مِنْ أَمْرِه مَا يَشَاءُ.)
“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”3
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
(…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ، وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ.)
“…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”

Haramkah berperang di bulan-bulan haram?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ }
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah: 5)
Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan.
Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.

Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang lainnya.

Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)
Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.))
… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”
Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
(كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه.)
“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.”  

Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya
Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada tahun tersebut.
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ.)) قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.”
Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut:
(( صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا.))
Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.”
Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).
Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut disunnahkan.
Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah.
Dalam  kitab Al Bid’ah Al Hauliah menyebutkan 2 jenis amalan yang tidak sesuai ajaran yang haq banyak diada-adakan sejumlah orang di Bulan Muharram.

Duka Cita ala Syiah
Pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, yang dikenal dengan Asyura’, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Al Husain bin Ali bin Abu Thalib (semoga Allah meridhai keduanya) dengan kesyahidan, di tahun 61 H. Kesyahidannya merupakan salah satu yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat kedudukannya dan meninggikan derajatnya. Dia dan saudaranya Al Hasan adalah dua pemimpin muda penghuni syurga.
Ketika Abdurrahman bin Maljam membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, pemimpin kaum mukminin ketika itu, para sahabat Nabi membaiat Al Hasan, putra Ali, yang telah dikatakan oleh Nabi,  “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, Allah akan menjadikannya pendamai dua kubu besar kaum muslimin yang saling berseteru.”
Sebagian ulama berkata, “Dengan kematian Al Husain setan membuat dua bid’ah di tengah manusia: bid’ah kesedihan dan ratapan pada hari Asyura’ dengan menampar-nampar wajah, menjerit-jerit, menangis, bersin-bersin, dan membuat acara nostalgia. Semua itu menggiring kepada mencela dan melaknat generasi Salaf dan mengaitkan mereka yang tidak terlibat menjadi para pendosa. Sampai-sampai mereka mencela generasi pertama Islam. Membacakan kisah-kisah yang kebanyakannya adalah dusta. Maksud mereka melakukan hal-hal itu adalah untuk membuka pintu perpecahan di antara ummat. Apa yang mereka lakukan (pada hari Asyura’) bukanlah hal yang wajib, tidak pula mustahabbah (disukai) menurut kesepakatan kaum muslimin. Perbuatan-perbuatan itu hanyalah ingin mengenang dan meratapi musibah masa lalu yang merupakan perbuatan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala .”

Adapun sekarang ini, di beberapa negara menyambut bulan Muharram dengan kesedihan, kegundahan, dan kebatilan-kebatilan. Mereka membuat keranda dari kayu dihiasi kertas warna-warni yang dinamakan dengan kubur Al Husain atau Karbala. Juga membuat dua kubur dan dinamakan sebagai takziah. Anak-anak berkumpul dengan pakaian, bunga-bungaan atau dedaunan dan menamakan mereka sebagai fuqara Al Husain (yang berhajat kepada Al Husain).
Pada hari pertama bulan Muharram mereka menyapu rumah, mandi dan bersih-bersih. Kemudian dihidangkan makanan dan dibacakan surat Al Fatihah, permulaan surat Al Baqarah, surat Al Kafirun, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas, shalawat kepada Nabi, lalu menghadiahkan pahala makanan tersebut kepada orang-orang yang telah mati.
Pada bulan ini dilarang berhias. Para wanita tidak memakai perhiasannya, tidak makan daging, tidak mengadakan perayaan dan pesta, bahkan tidak mengadakan akad nikah, istri tidak boleh berhubungan dengan suaminya bila umur pernikahan belum melewati dua bulan, memperbanyak memukul wajah dan dada, mencabik pakaian, meratap dan mulai melaknat Muawiyah bin Abi Sufyan dan para sahabatnya, Yazid serta para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Di sepuluh hari pertama bulan Muharram, api dinyalakan dan manusia menglilinginya. Anak-anak pawai dijalan-jalan sambil berteriak-teriak: ‘Ya Husain, ya Husain’. Semua bayi yang dilahirkan pada bulan ini dianggap kesialan, dan pada sebagian wilayah beduk dan kentongan dipukul-pukul, musik dimainkan dan bendera dipasang. Keranda diletakkan lalu para lelaki, wanita dan anak-anak lewat dibawah keranda itu. Mereka mengusap-usapnya dengan bendera dan bertabaruk (mengharapkan barokah), meyakini bahwa hal itu akan membuat mereka tidak terkena penyakit dan dapat memanjangkan umur.
Di sebagian negara yang lain, orang-orang keluar pada malam Asyura’, para lelaki begadang menyusuri jalan-jalan. Jika matahari akan terbit barulah kembali ke rumah-rumah mereka.
Pada hari Asyura’ mereka memasak masakan khusus. Para penduduk desa dan kota berduyun mendatangi suatu tempat yang mereka namakan dengan ‘Karbala’ untuk melakukan thawaf (mengelilingi) keranda yang mereka buat dan bertabaruk dengan keranda itu dengan wasilah bendera, menabuh beduk dan gendang. Bila matahari tenggelam, keranda tersebut dikubur atau ditenggelamkan ke dalam air dan orang-orangpun kembali ke rumahnya masing-masing. Sebagian orang duduk-duduk di jalan-jalan sambil minum minuman yang mereka namakan As Salsabil dan membagi-bagikannya kepada orang-orang secara gratis. Sebagian orang yang dianggap bijak pada sepuluh hari pertama bercerita tentang kelebihan-kelebihan Al Husain, sedangkan keburukan-keburukan ditimpakan kepada Muawiyah serta Yazid (yang juga Ahlul Bait) dengan tidak lupa menumpahkan sumpah serapah kepada keduanya dan para sahabat.

Budaya Suro di Masyarakat Kejawen
Selain legenda dan mitos yang dikait-kaitkan dengan Muharram, masih sangat banyak budaya yang jauh dari ajaran Islam. Lebih tepat lagi bahwa budaya mastarakat tersebut merupakan  warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi tradisi  masyarakat Jawa. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Kejawen. Dari segi sistem penanggalan, memang penanggalan dengan sistem peredaran bulan bukan hanya dipakai oleh umat Islam, tetapi masyarakat Jawa juga menggunakan penanggalan dengan sistem itu. Dan awal bulannya dinamakan  Sura. Sebenarnya penamaan bulan Sura, diambil dari ’Asyura. Kemudian sebutan ini menjadi nama bulan pertama bagi penanggalan Jawa.
Beberapa tradisi dan keyakinan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa sudah sangat jelas berselisih dengan syariat gama yang lurus, seperti keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan yang keramat, gawat, dan penuh bala. Maka diadakanlah upacara ruwatan dengan mengirim sesajen atau tumbal ke laut. Sebagian yang lain dengan cara bersemedi mensucikan diri bertapa di tempat-tempat sakral semisal di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon tua, dan sebagainya. Dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan ‘berjaga hingga pagi hari’ di tempat-tempat umum seperti tugu Yogya, Pantai Parangkusuma, dan sebagainya, dengan anggapan itu merupakan sarana mendekatkan diri pada Tuhan.
Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng keraton sambil membisu. Sebagian lain melaksanakan kirab keliling keraton dengan panduan kerbau bule yang merupakan keturunan kerbau bule bernama Kyai Slamet. Masyarakat awam bahkan berebutan kotoran kerbau tersebut dengan tujuan ngalap berkah.
Tradisi tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah. Masyarakat  berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa sial dan malapetaka bagi diri mereka.
Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini ‘tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Tradisi Ngalap Berkah dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (Kiyai Slamet) di keraton Kasunanan Solo, thawaf di tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, begadang semalam suntuk dan lain-lainnya.

Budaya Tabot di Masyarakat Sumatera
Di masyarakat pesisir barat pulau Sumatera yang terpengaruh oleh ajaran Syiah, saban tahun dilaksanakan peringatan mengenang kematian Al Husain sebagaimana dilakukan oleh kaum Syiah di wilayah Arab dan Persia. Peringatan kematian Al Husein tersebut dilaksanakan di Bengkulu dengan tradisi Tabot, dan di Pariaman dengan tradisi Tabuik.
Menurut Hamzah Tede, Tabot yang merupakan upacara belasungkawa pengikut syi’ah ini mulai diperkenalkan pertama kali pada tahun 1685 oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo, yang menikah dengan gadis Bengkulu. Namun ada juga yang mengatakan, Tabot dibawa oleh para pekerja asal India Selatan (Madras dan Bengali) yang berpaham Syi’ah pada tahun 1718. Para pekerja itu dibawa ke Bengkulu oleh kolonialis Inggris untuk membangun Benteng Marlborough.
Para pekerja asal Madras dan Bengali ini, kemudian membaur dengan penduduk setempat, termasuk dengan keturunan Syekh Burhanuddin. Mereka beranak pinak, sehingga membentuk komunitas Sipai. Orang-orang Sipai inilah yang melanjutkan  dan menghidup-hidupkan tradisi Tabot. Artinya, tradisi Tabot ini belum pernah secara luas diterima sebagai tradisi lokal oleh masyarakat Bengkulu pada umumnya. Dalam makna lain, sepenggal ajaran syi’ah yang dibawa para pekerja dari Madras dan Bengali hanya diterima oleh orang-orang Sipai saja.
Namun belakangan, orang-orang Sipai pun berhasil membebaskan diri dari kesesatan ajaran Syi’ah, namun masih mempraktekkan tradisi Tabot semata-mata untuk mengenang dan menghormati tradisi nenek moyang mereka. Akhirnya, seiring perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dimaksudkan untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu Husein Radhiyallahu ‘Anh yang tewas di Padang Karbala, kini berubah arah menjadi pesta budaya lokal yang didanai pemerintah setempat
Sedangkan Tabuik yang dilaksanakan di Pariaman konon sudah dikenal sejak tahun 1831 yang dibawa oleh tentara Inggris asal Sepoy atau Cipei (India). Bila di Bengkulu ada 17 Tabot, di Pariaman hanya ada 2 Tabuik yang melambangkan peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad Shalalhu Alaihi Wasallam.
Bila di Bengkulu dinamakan Festival Tabot, di Pariaman dinamakan Pesta Budaya Tabuik Piaman yang sejak 1974 menjadi kegiatan rutin bidang wisata Pemkot Pariaman. Sebagaimana di Bengkulu, Tabuik Pariaman juga diselenggarakan pada tanggal 1-10 Muharram, dan merupakan upacara peringatan atas meninggalnya Husein Radhiyallahu ‘Anhu (cucu Nabi Muhammad Shalalhu Alaihi Wasallam).
Semoga Allah Ta’ala meluruskan agama kita, amiin....