Opini Publik dan Mbah Google

Saat Opini Publik
dan Mbah Google menjadi Dewa

Kehidupan manusia hari ini dengan segala peristiwa yang mengiringnya tidak bisa lepas dari media massa. Mari kita bandingkan, ummat manusia dulu jika menghadapi masalah apapun dalam kehidupan, mereka datang merujuk kepada para ulama, pendeta, biksu dan tokoh-tokoh agama masing-masing. Para tokoh agama selanjutnya memberi nasehat berdasarkan kitab-kitab suci yang ada di tangannya. Ketika yang berlaku masih seperti ini, tatanan kehidupan relatif “berjalan normal”. Namun apa yang terjadi hari ini, dengan dalih hak azasi, dan tuntutan gaya hidup modern, manusia telah menjadikan media massa sebagai rujukan kehidupan. Membaca berita, akses media online, update berita 24 jam adalah segelintir kegiatan yang menjadi amalan wajib. Bagi manusia moderen, media massa adalah sumber rujukan utama, dan bertanya ke “Mbah Google” menjadi pilihan pertama untuk mencari jawab semua permasalahan. Padahal adalah kenyataan, media tidak selalu memberikan informasi yang benar-benar berdasarkan fakta, media sering memanfaatkan kemampuan mereka sebagai pengendali opini publik untuk malah menyamarkan fakta yang ada dan menciptakan fakta-fakta yang mereka ulas berkali-kali seolah itu merupakan fakta yang benar. Dan dari sinilah opini publik berubah dan mulai tebentuk fakta baru yang bersesuaian dengan kepentingan para juragan sponsor media.

islamophobia

                               Antara ISLAMOPHOBIA dan 'Perang Melawan Terorisme'


Islam merupakan agama yang paling pesat berkembang di Barat. Masjid-masjid besar dibangun di seantero tanah Inggris, negeri yang menjadi simbol kekuasaan Gereja Anglikan. Pun demikian di negeri-negeri besar Eropa seperti Perancis dan Jerman. Para elit politik (dan kalangan elit gereja tentunya) sangat gundah gulana akan kenyataan ini. Terlebih tekanan kelompok ekstrimis sayap kanan di dalam negeri masing-masing. Mereka terbelenggu oleh ketakutan, yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah bentuk kecemasan akut terhadap terkikisnya dominasi mereka dalam tatanan masyarakat mereka sendiri. Fakta ini menimbulkan kecemasan bahkan ketakutan yang membabi buta masyarakat barat (terutama para elite politik dan gereja) terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Beban psikologis inilah yang dieksploitasi media barat dengan menampakkan gambaran stereotip dan prasangka negatif terhadap Islam, dengan laporan dan tulisan yang sering menonjolkan Islam sebagai agama extremist, fundamentalist, terrorist, dan label negatif lainnya. Ketakutan terhadap segala yang berbau Islam telah berkembang menjadi Islamopobia. Dan dari ketakutan ini, media meraup untung besar, para makelar politik panen pencitraan, dan munculah proyek bisnis mengiurkan bernama...”perang melawan terorisme”